Hidup tak musti hebat. Sederhana pun bisa berarti ...

Minggu, 13 November 2011

Salah Sangka

Cerpen ini kutulis dalam rangka Even "Theme songs of my short story" dari Group 'UNTUK SAHABAT' Tema cerita bebas, tulisan tidak lebih dari 5.000 KARAKTER TANPA SPASI. Untuk lagu yang akan menjadi inspirasi meliputi semua jenis musik yang populer dari tiga negara yaitu, Indonesia, Malaysia, dan Lagu Barat. Naskah cerita harus memuat at...au menyisipkan sebagian lirik dari lagu yang dipilih pada badan cerita.





Salah Sangka
Oleh : Ade SM

Gadis belia itu melintas tepat di depanku. Sejenak kami bersitatap. Ada sesuatu di wajahnya yang membuat hatiku berdesir. Paras itu mengingatkanku pada seseorang di masa lalu yang bayangnya selalu mengusik malam-malamku hingga kini.

Hatiku tergerak untuk menyapa, tapi lidahku justru kelu. Kuikuti langkahnya perlahan sampai di ujung jalan. Benar saja, ia berbelok ke sebuah pekarangan luas, membuka pintu pagarnya dan menghilang di balik rimbunnya perdu. Gadis itu, tidak salah lagi, pasti ia anak Sita, pikirku. Waktu berlalu demikian cepat, tapi luka ini tak jua terobati. Kalau dipikir-pikir, untuk apa aku pulang?

"Bulan merah jambu luruh di kotamu
Kuayun sendiri langkah-langkah sepi
Menikmati angin menabuh daun-daun
Mencari gambaranmu di waktu lalu"

Belasan tahun yang lalu. Tak ada yang menarik dari Sita selain nilainya yang selalu di atas rata-rata. Kami menamainya si kutu buku. Apa sih enaknya mendekati gadis kutu-buku dengan kacamata minus 5 yang selalu bertengger di hidungnya? Bisa-bisa ketularan seriusnya, pikirku dulu. Tapi aku salah besar. Suatu hari tanpa sengaja aku bercakap-cakap dengannya. Topik yang sederhana akhirnya menjadi obrolan menarik. Ternyata si kutu buku berwawasan luas. Apapun yang aku bicarakan, nyambung aja. Sejak itu, aku selalu menanti saat-saat pulang sekolah bersamanya, menyusuri jalan setapak sampai di ujung pekarangan rumahnya dan bercerita tentang banyak hal dengannya kecuali cinta. Cinta, pernahkah bersemi di hati kami berdua? Walau binar ceria menghias matanya setiap kali bercerita padaku, tapi aku sangsi. Ataukah aku yang terlalu pengecut untuk mengakui kalau ini cinta? Aku tak berani bertanya sampai perpisahan itu tiba. Tak ada kata bahkan lambaian perpisahan yang kusampaikan. Aku pergi begitu saja. Aku, yang biasa dijuluki ‘Si ganteng Ndaru’, mencoba melupakan gadis biasa itu. Di kota, akan kujumpai banyak gadis jelita yang kepandaiannya melebihi Sita tentu saja.

"Sisi ruang batinku hampa rindukan pagi
Tercipta nelangsa merenggut sukma
Terwujud keinginan yang tak pernah terwujud
Aku tak bisa pindah, pindah ke lain hati"

Belasan tahun yang lalu. Aku pulang, membawa setangkup rindu untuk Sita. Telah kulalui hari-hari jauh darinya. Hatiku tak bisa berdusta, dialah wanita yang kucinta. Ingin segera kunyatakan padanya, aku ingin mengikat janji setia. Namun, di ujung jalan setapak hatiku bergolak. Janur kuning menghias pekarangan. Lamat-lamat kudengar pernikahan Nursita Ardriana dengan seseorang. Sita... aku menyesali keterlambatanku.

"Begitu lelah sudah kuharus menepi
Biduk tlah ditambatkan berlabuh di pantaimu
Sisi ruang batinku hampa rindukan pagi
Tercipta nelangsa merenggut sukma
Terwujud keinginan yang tak pernah terwujud
Aku tak bisa pindah, pindah ke lain hati"


“Ibu, aku pamit. Jangan tunggu aku bila aku lama tak kembali. Aku mohon doa restu, Bu,” kuputuskan untuk pamit pada wajah yang mulai menua itu.
“Apa lagi yang kamu cari, Ndaru? Ibu sudah lama ingin menimang cucu. Kapan dirimu akan mengakhiri masa bujangmu?”

Aku tak bisa menjawab pertanyaan ibu. Tak mungkin kukatakan hatiku telah tertambat pada Sita yang kini telah berkeluarga.
“Sita mencarimu, Ru. Sepertinya ada yang ingin disampaikannya,” jelas ibu.
“Sampaikan saja salam saya, Bu. Aku tak ingin menemuinya,” jawabku. Kupeluk ibuku, memohon maaf untuk ketakberdayaanku membahagiakannya. Mantap kulangkahkan kaki meninggalkan desa ini.

Di ujung jalan setapak, tak kuduga gadis belia yang kutemui kemarin menemani Sita memotong langkahku. Aku mencoba tersenyum dan menyapa, “Apakabar, Sita?”

“Ba.. baik,” jawabnya tergagap. “Resti, kenalkan.. ini Paman Ndaru, teman sekolahku dulu,” lanjutnya mencoba mengusir kekakuan. Aku menatap gadis belia itu. Benar-benar mirip. Kalau Sita menikah denganku, apakah anaknya akan mirip aku? Ah, aku menepis pikiran itu. Sita bukan milikku. Kami bercakap-cakap sebentar. Tak baik berlama-lama menatap sepotong hati yang telah terbagi. Lebih baik aku segera pergi, tanpa basa-basi.

“Aku pamit, Sita.” Tanpa menoleh kutinggalkan dia.

“Ndaru...” panggil Sita. Aku tetap melangkah meninggalkannya. Tak pernah kusadari, airmata membanjiri pipi wanita yang kucintai. Sementara di sebelahnya, gadis belia itu berucap, “Bulek, itukah paman Ndaru yang selalu bulek nantikan? Kenapa bulek membiarkannya pergi?” Sayangnya, aku tak mendengar.

“Ndaruuuu... jangan pergi!” Aku sudah berada di dalam angkutan umum. Dari jendela kendaraan kulihat gadis belia itu menuntun Sita yang hampir terjatuh, sementara di kejauhan, tiba-tiba seseorang yang sangat mirip dengan Sita berlari tergopoh-gopoh menghampiri keduanya. Baru kusadari wajah ketiga perempuan itu memang mirip.


Cerita pendek ini terinspirasi dari Lagu "Tak bisa ke lain hati" yang dinyanyikan oleh "KLA Project"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar