Suatu hari di akhir Desember 2013
Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan, sayang engkau tak duduk di sampingku kawan...
Sebait lagu tersebut mungkin cocok untuk mengawali perjalanan kami saat itu, Sabtu 28 Desember 2013. Perjalanan malam membelah bumi Etam menuju Kecamatan Biduk-biduk di Kabupaten Berau.
Pukul 10.00 wita perjalanan dimulai dari Meeting Point : rumah Om Badak di Loktuan Bontang menuju Sengatta. Jalanan cukup mulus, walau ada beberapa ruas jalan yang rusak. Tak dinyana ketika sampai di kota Sengatta justru jalanan rusak parah karena sebagian badan jalan sedang diperbaiki.
Tak banyak yang bisa kuceritakan tentang malam ini, sebab aku terlelap sepanjang malam. Sekali waktu rombongan kami yang terdiri dari 6 kendaraan berhenti di kota Bengalon untuk mampir di sebuah warung, menikmati segelas teh hangat pengusir kantuk. Namun setelah itu.... zzzzz aku pulas lagi.... hihihi... memang tuti deh aku ini - tukang tidur hahaha...
|
Tempat penyebrangan di Sungai Sangkulirang |
Menjelang subuh, rombongan sampai di penyebrangan MJ di Sungai Sangkulirang. Sambil menunggu kapal penyebrang yg akan beroperasi, kami shalat shubuh dan sarapan di tepi jalan, beralas terpal beratap langit kelam dengan buras di tangan. Lumayan lah. Kabut menemani pagi yang dingin. Hanya 2 s.d 3 mobil yang bisa diangkut sekali menyebrang, dengan biaya berkisar Rp. 200.000,- s/d 250.000,- permobil. Kami antri menunggu giliran. Matahari pagi mulai menampakkan cahayanya malu-malu.
|
Di atas kapal kayu |
|
Di sebrang sungai |
Tepat di seberang sungai, kami mulai menyelusuri jalan tanah. Aku terkesima menatap tumpukkan kayu ulin yang berjajar rapi di sepanjang kanan dan kiri jalan. Takjub! Betapa tidak, selama ini yang kutahu sungguh sulit mendapatkan kayu ulin. Tapi disini... lihatlah! Batang ulin bertumpuk-tumpuk. Punya siapa ya? Sebuah pertanyaan begitu saja melintas di benakku.
|
Tumpukan kayu |
|
Buanyaknyaaa.... |
|
Pagi yg berkabut, hutan yang terserabut. |
Mobil melaju menyusuri jalan tanah perkebunan sawit. Hutan tak lagi rimbun, berganti hektaran tanah yang ditanami bibit sawit. Suasana lengang, area terbuka tanpa pohon-pohon tinggi. Sungguh kontras dengan rimbunan pohon di tepi sana. Masih ada sisa-sisa hutan meski tak banyak.
|
Tiada lagi hutanku.... |
Terdapat 2 jalan yang bisa dilalui untuk sampai ke Kabupaten Berau. Arah menuju Lempake, melewati perkebunan kelapa sawit yang sudah rimbun. Adapun jarak tempuhnya 6 jam lebih lama dari jalan yang akan kami pilih.
Ya, demi menghemat waktu, kami memilih untuk mengikuti jalur yang biasa dilewati truk dan pick-up pengangkut ikan. Jarak tempuh lebih dekat. Hanya saja..... ow-ow... Nah, ini yang tidak kami perhitungkan. Jalan tanah tersebut dapat kami tempuh dalam waktu 6 jam dengan syarat tak ada turun hujan beberapa hari sebelumnya.
|
Jalan truk pengangkut ikan yg kami pilih.... |
|
Berharap cuma sekian saja, nyatanya..... :( |
Apa daya, kali ini kami salah kira. Lihatlah, tanah becek membentang di depan mata, dan kami harus nekat melewatinya. Mulanya, kami mengira hanya sedikit saja tanah becek di jalur ini, tapi ternyata.... entah berapa kali kami terjebak lumpur. Bergantian kami menunggu sampai mobil yang kami tumpangi dapat ditarik truk besar. Mobil 4WD yang dinaiki Keluarga Mba Budis pun hilir mudik membantu menarik mobil kami yang jelas-jelas bukan kendaraan double gardan. Waktu tempuh yang tadinya diperkirakan hanya 6 jam, kali ini mulur menjadi 3x nya. Fiuh...!!!
|
Berbagai cara penghilang cemas, foto-foto salah satunya. |
|
Dhiyaku sudah berulangkali berurai airmata.... |
Dhiya sudah bolak-balik menangis, takut tidak bisa keluar dari jalur ini. Aku membujuknya agar sabar. "Nanti juga kita sampai, sayang..."
"Tapi... pulangnya nggak lewat sini lagi kan?" tanyanya meminta kepastianku. Aku menggeleng, tak tahu harus menjawab apa. Sungguh, dalam perjalanan kali ini kami hanya mengikuti intruksi mobil di depan. Aku tak membawa peta. Mau nyalain GPS juga percuma, tak ada sinyal di hutan ini. Jadi ngeri-ngeri gimanaaaa gitu ketika membayangkan seandainya kami kemalaman di jalan ini. Hiyyyy.... tempat yang jauh dari peradaban.
|
Tantangan tak kunjung berakhir, ooohhh..... |
|
Baju baru putih cemerlang, langsung belepotan lumpur,
sampai sekarang ga ilang bekasnya. |
|
Bannya sudah mirip donat berlapis coklat haaahhhh!!! |
Untunglah ketika sore menjelang, kendaraan kami sudah tiba di tepi hutan dan jalan beraspal di pesisir. Alhamdulillaaaaah....tak hentinya ku ucap syukur. Kami berhenti di sebuah sungai kecil yang airnya sangat jernih dan dingin. Beberapa teman langsung menceburkan diri sambil mencuci mobil yang kotornya bukan main.
|
Hutan rimbun di kanan kirinya.... |
|
Akhirnya.... jalan aspal nan mulus...Alhamdulillah. |
|
Sungai kecil berair jernih... |
|
Cukuplah buat ngebersihin mobil biar ga dekil amat! |
Sekelompok kupu-kupu kuning bergerombol di tepi parit. Suasana lengang ini membuat kami seperti sedang berada di dunia lain. Tangki bensin sudah nyaris kosong. Masih berkilo-kilo meter untuk sampai di Kecamatan Biduk-biduk. Kami berharap, tak jauh lagi kami dapat menemukan penjual bensin. Kalau tidak? Entahlah.... tak ada persediaan bensin di mobil kami.
|
Kumpulan kupu-kupu kuning di pinggir sungai. |
|
Kios bensin dan selangnya... :) |
Untung saja akhirnya kami mendapatkan kios bensin di tepi jalan. Yesss!!! Berasa dapat durian runtuh? Ah, bukan! Berasa haus yang terbayar oleh siraman air segaaarrrr... Glek!
Mari menuju surga kecil penuh lambaian pohon kelapa!!!
|
Horeeee.... akhirnya.... Pulau beribu nyiur melambai.... |
|
Langit biru dan indahnya menghapus semua lelah perjalanan... |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar