Awal bulan Juni, tepatnya tanggal 6 Juni 2012 saya mendapat undangan dari mbak Inni Indrapuri berupa acara bedah buku novelnya yang kedua berjudul "Gampiran".
Keinginan untuk menghadiri acara berbau kepenulisan ini begitu menggoda, tapi acara ini akan berlangsung di Badan Perpustakaan Prov. Kaltim di Jl. Ir. H. Juanda No.4 Samarinda loh, 120km jauhnya dari kota Bontang.
Untuk seorang Ade yang tidak pernah pergi sendiri, tentu perlu teman perjalanan. Untunglah mbak Tri Wahyuni dari "Studio Kata" Bontang punya niat kesana juga. Jadilah hari itu kami berangkat pukul 6 pagi dari Bontang agar tidak terlambat sampai di acara yang dimulai pukul 08.30 Wita.
Pukul 9 kurang sedikit kami tiba, mengisi lembaran registrasi, mendapat sebuah map berisi buku notes dan pulpen *padahal tadinya saya berharap ada novelnya juga, ternyata novelnya harus beli.
Acara sudah dimulai ketika kami duduk. Ruang Balai Pustaka sudah dipenuhi para tamu undangan, pelajar SMA, Mahasiswa, Komunitas Menulis dan Wartawan. Saya sempat dikenalkan beberapa dari mereka oleh mbak Yuni, diantaranya mbak Sari Azis dan ibu-ibu komunitas "Perempuan Penulis Kaltim".
Acara pembukaan dan sambutan panitia tentu saja terlewat, tapi sambutan Kepala Badan Perpustakaan Prov. Kaltim Ibu Dra. Hj. Sulasmi Retno W, M.Si. masih bisa kami simak.
Membudayakan kegemaran membaca adalah satu hal yang selalu
ingin dipacu oleh Badan Perpustakaan Daerah (Perusda) Kaltim. Untuk itu, dalam rangka
memperkenalkan buku baru yang ditulis oleh pengarang dari daerah Kalimantan
Timur sekaligus mendorong minat dan kegemaran membaca di kalangan masyarakat, diadakanlah acara bedah buku ‘Belajar dari universitas kehidupan’ karya Syafrudin Pernyata dan novel “Gampiran” karya Inni Indrapuri.
Menarik sekali apa yang disampaikan kepala perusda Kaltim,
Dra. Hj. Sri Sulasmi W. M. Si. Beliau mengatakan bahwa masyarakat kita adalah
masyarakat yang pelit dalam hal membeli buku namun gemar mengeluarkan uang
untuk hal-hal konsumtif lainnya. *Betul juga ya...
Tak salah bila tema bedah buku kali ini bertajuk : "Kita jadikan perpustakaan sebagai sumber belajar sepanjang hayat."
Terus terang, saya hadir di acara ini hanya berbekal rasa ingin tahu. Membaca kedua buku yang akan dibedah pun saya belum. Akhirnya, di sela-sela acara pembukaan saya curi-curi baca beberapa cerita yang ada di buku "Belajar Dari Universitas Kehidupan".
Latar kehidupan Bpk. Syafruddin Pernyata dan asam garamnya kehidupan yang ia cecap, kental mewarnai isi buku ini. Sebagai seorang pendidik, mantan wartawan dan birokrat yang menduduki berbagai jabatan madya di lingkungan Pemprov Kalimantan Timur, ia mengungkapkan bahwa banyak realitas kehidupan -yang sederhana sekalipun- yang sesungguhnya bisa memberi pencerahan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Saya kutip salah satu tulisannya :
Padahal sumber belajar itu tidak harus di sekolah.
Sumber belajar itu ada di kehidupan.
Kehidupan adalah sumber belajar yang tidak pernah kering.
Kehidupan adalah guru sekaligus laboratorium.
Kehidupan adalah media pembelajaran yang sekaligus bengkel kerja (workshop) yang tidak dibatasi oleh ruang kelas dan waktu, apalagi sekadar papan tulis, kursi dan meja.
Dalam penjelasannya yang diselingi dengan senda gurau bahasa Banjar, Syafruddin menceritakan inti beberapa tulisannya. Misalnya ketika ia bicara tentang "Tiga Jurus Akong Berusaha", kami dapat memetik kesimpulan bahwa sukses itu tidak selalu harus diawali dengan modal, tapi lebih kepada kesetiakawanan, kejujuran, komitmen yang kuat dan keluhuran budi.
Kisah "Berani Miskin"juga membuka mata bahwa kemiskinan itu tak boleh dikeluhkan. Boleh jadi kemiskinan itu justru membuka jalan untuk mencapai kesuksesan, sedangkan kekayaan bisa jadi jalan menuju kemalasan yang berakibat pada kemiskinan.
Tak hanya itu, kisah "Mobil SMK dan Rambut Risca" pun bertutur bahwa benar adanya 90% orang di PHK bukan karena knowledge dan skill-nya, melainkan karena kepribadiannya.
Total ada 21 kisah dalam buku ini yang diangkat dari kisah nyata dan benar-benar memberi makna dengan cara dan jalan yang berbeda-beda. Menurut Syafruddin kesuksesan bukanlah warisan. Kesuksesan diraih karena kecerdasan dan sumber kecerdasan itu ada di kehidupan itu sendiri.
Buku kedua yang dibedah adalah novel "Gampiran" karya Inni Indrapuri yang katanya sarat dengan nuansa lokalitas dan pesan moral terhadap lingkungan. Untuk novelnya ini, mbak Inni mengadakan riset dan berdialog dengan rekan-rekannya yang berkecimpung dalam masalah lingkungan.
Gampiran sendiri adalah suatu lokalitas budaya yang ada di sebagian masyarakat Kutai dan Banjar. Dalam konteks ini gampiran yang dimaksud adalah kembar manusia dan buaya. Bukanlah berarti mereka merekat, berdempet, atau bersatunya suatu benda secara fisik. Tetapi begampiran adalah persatuan atau perpaduan secara rohani antara dua roh yang berbeda; roh manusia yang hidup di alam nyata (dunia) dan roh buaya yang hidup di alam gaib dalam hal ini digambarkan di kedalaman sungai.
Korrie Layun Ranpan (sastrawan, pendiri dan pengelola Rumah Sastra Korrie Layun Rampan) menuliskan di akhir novel Inni, bahwa Gampiran menunjukkan local genus yang dalam bahasa sehari-hari disebut kearifan lokal.
Tulisnya lagi : Menurut Rahyono (2009:7) dengan mengutip Poespowardojo yang merumuskan pemikiran Quaritch Wales, bahwa kearifan lokal memperlihatkan ciri budaya tertentu dari sekelompok manusia sebagai pemilik budaya tersebut.
Novel ini berkisah tentang Munita, yang telah hidup terpisah dari kembaran (gampiran) nya selama 18 tahun. Munita adalah mahluk jadi-jadian berwujud buaya kuning yang tinggal di kedalaman sungai, sedangkan kembarannya adalah Monika yang berwujud manusia.
Munita harus kembali ke kampung asalnya dan merasuki jiwa Monika karena ibu yang telah melahirkannya tak melakukan ritual 'bebebuang' (memberi makan buaya secara gaib dengan melarungkan makanan berupa ketan kuning dan perlengkapannya ke sungai) pada purnama yang lalu. Jika hingga 3 purnama ibu sampai lupa melakukan ritual bebebuang, akan membuat Munita sakaw (kondisi lapar nutrisi yang membuat emosi membumbung tinggi, tak bisa terkendali).
Munita merasa telah dibuang keluarganya karena wujudnya yang berbeda. Tapi memang begitulah seharusnya. Habitatnya bukan di antara manusia, tapi di kedalaman sungai hingga akhirnya ia ditemukan Buyan (buaya jadi-jadian) yang membesarkannya dalam kasih sayang hingga ia remaja.
Dari sinilah cerita berawal.
Tentang adanya perjanjian Hulu dan Hilir, tentang kisah asmara antara Monika-Wirawan yang manusia dan Munita-Buyan yang buaya, tentang dukun Beah yang memegang rahasia ibu, tentang Ibu yang sesungguhnya mengasihi kedua anaknya walau wujudnya berbeda, tentang Tua Mor seorang pawang buaya yang bekerja untuk Tuan Hisyam dan akhirnya menikahi Ibu. Ada pula tokoh Paman Riu dan Seduyong (banyak ya, tokohnya?). Cerita yang penuh konflik.
Setting lokasi berupa kedalaman sungai, kampung Sangta dan Sangtana yang dulunya penuh dengan sumber daya alam melimpah namun kini mengalami kerusakan lingkungan akibat ulah tangan-tangan manusia sepertinya merupakan sentilan terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi di kota Sangatta dan kota-kota lain di Kalimantan Timur.
Inni menggarap kisah kembar manusia-buaya ini dalam fiksi Indonesia modern. Kisah yang unik, indah dan mengasyikkan yang tak lepas dari bumbu percintaan dan katanya ditutup dengan happy ending.
Pukul 12.00 acara berakhir, meninggalkan tanda tanya dan rasa ingin tahu untuk segera membaca secara keseluruhan kedua buku tersebut. Sayang, buku "Belajar Dari Universitas Kehidupan" telah habis stoknya. Saya hanya bisa membeli 2 buah buku "Gampiran", satu untuk koleksi pribadi, satunya lagi insyaallah akan saya serahkan pada perpustakaan PWP. Ada hal yang membuat saya terheran-heran, ketika pamit pulang dan melewati meja resepsionis, kami disodori amplop. Ternyata kami mendapat 'oleh-oleh' yang lain. Wah, nggak salah nih? Biasanya ikutan seminar atau apalah namanya, kan musti bayar, lha ini kok malah dibayar :))
Berkesempatan foto bersama penulis-penulis Kaltim
Bertemu dan berbincang dengan "Perempuan Penulis Kaltim" Mbak Pradipta Fia, Himelda Chaniago, Irni Fatma, Hesti Daisy, Emy Tias dll, tapi tidak semua sempat berfoto bersama. Bertemu Ramadira, cerpenis kelahiran Tarakan yang cerpennya telah dimuat di berbagai media massa nasional (Media Indonesia, Kompas, Republika, dll). Saya bertukar buku WMTHS dengan kumcernya yang berjudul "KUCING KIYOKO"
Sepertinya sudah menjadi kebiasan para penulis Kaltim untuk menyerahkan 2 buah buku karyanya kepada Perpustakaan Prov. Kaltim. Pada kesempatan ini, saya memberikan buku antologi karya Komunitas Menulis "Kalbu" berjudul "When Mom Tells Her Story" yang diterima ibu Sri Sulasmi Retno dengan senang hati.
Mbak Yuni juga menyerahkan buku kumcernya dan buku karya Pak Sunaryo Broto penulis asal Bontang.
Usai acara, diskusi masih berlanjut di kantin perpustakaan. Di sini, saya mengenal lebih dekat sosok mbak Inni Indrapuri. Sosok seorang ibu yang tegar, yang tak menyerah ketika ujian menerpa hidupnya. Anak gadisnya divonis penyakit Lupus di usia 13 tahun, penyakit yang belum ada obatnya. Mbak Inni ternyata adalah seorang volunter penyakit lupus yang berjuang tidak hanya untuk anaknya saja, tapi ia berjuang untuk para penderita penyakit lupus yang ada di kota ini.
Pulang ke Bontang, saya membawa satu pemahaman : Menulis, menjadikan ladang untuk berbuat kebaikan. Teruslah menulis, tebarkan kebaikan lewat tulisan.
Bontang, 30 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar