Hidup tak musti hebat. Sederhana pun bisa berarti ...

Rabu, 27 Juni 2012

Suling Rasa Cabe



Cerpen ini kuikutkan pada event Kisah Komedi Di Sekolah (KDDS) Group UNSA bulan Juni 2012. Boro-boro juara, masuk nominasi juga kagak :D

Suling Rasa Cabe
Oleh : Ade SM

Pak Ade marah lagi. Ini entah ke berapa kali beliau marah ketika pelajaran berlangsung. Sungguh tak menyenangkan. Kalau boleh memilih, lebih baik aku tak mengikuti pelajarannya. Kesenian, mata pelajaran yang paling tak kusukai. Apalagi praktek kali ini adalah meniup suling. Jangan bayangkan klarinet atau alat musik tiup keren lainnya. Pak Ade memerintahkan kami mempelajari suling bambu dengan notasi da mi na ti la da. Hari gini suling bambu? Ih, kuno amat!
“Kamu nggak boleh begitu!” ujar Sisca, “siapa lagi yang akan melestarikan seni asli Indonesia kalau bukan kita? Nanti kalau keseniannya diklaim negri jiran baru heboh. Kupikir ada baiknya Pak Ade mengajarkannya. Coba kamu dengar dan resapi, lagu ini sungguh indah.” 

Sisca memperbesar alunan suling yang mendayu-dayu dari MP3-nya lalu menyimak tembang itu. Tembang yang mengingatkan aku ketika diajak mama makan di rumah makan Sunda. Memang benar sih kalau yang memainkannya sudah ahli, tembang itu indah sekali.  Kalau aku? Aih, boro-boro meresapi, meniup notasinya saja aku masih salah-salah. Mana mungkin tercipta lagu yang indah dari sulingku. Dengan putus asa kubanting suling itu ke meja.  Astaga, aku lupa kalau ini suling bambu. Kalau retak bagaimana? Segera kupungut sulingku, waswas kuperiksa setiap incinya kemudian kucoba meniupnya. Syukurlah nadanya masih sama, tapi tetap saja tak ada nada indah yang dihasilkan ketika aku mencoba notasi lagu yang harus kuhapal. Panjang pendek tiupanku tak pernah singkron dengan gerak jemariku menutup lubangnya. Huh, aku kesal setengah mati! Bagaimana tidak, hanya ada waktu dua hari untuk maju ke depan kelas,  test tepatnya.  Aku bahkan bisa menebak nilai kesenianku kali ini bakal dapat angka merah. Padahal, meski aku tak menyukai pelajaran kesenian,  nilaiku tak pernah kurang dari angka tujuh. 

“Hai, cantik! Kenapa murung?” wajah tengil itu tiba-tiba sudah berdiri di depanku dengan gaya slebornya. Seragam putih birunya penuh dengan keringat. Ih, Nunu! Pasti nih anak habis main basket sepanjang istirahat tadi sehingga aroma keringat menerpa hidungku. Rasa sebalku membuncah, tapi aku berusaha menahannya. Ibu mengajariku untuk berlaku sopan kepada siapapun, termasuk terhadap anak tengil macam Nunu.

“Ah, aku tahu! Kamu ingin kuajari cara meniup suling yang benar, kan?” tanyanya lagi sok tau. Lalu dengan gaya khasnya, ia meraih sulingnya di tas dan memainkan lagu yang baru kuhapal. Bagus sekali! Tak puas dengan meniup, ia pun menyanyi. Merdu juga suaranya. Sebersit rasa kagum melintas di hatiku. Anak slebor macam Nunu saja dengan mudah bisa menerima pelajaran Pak Ade, kenapa aku tidak? Tuhan, tolong aku.

Hari ini dengan malas aku masuk sekolah. Sepanjang pagi aku berdoa semoga hari ini pelajaran kesenian batal, misalnya Pak Ade sakit gitu. Hush! Doa yang jelek tak akan dikabulkan Allah, kata Sisca mengingatkanku ketika aku mengeluh padanya. Masih ada waktu sampai jam istirahat siang untuk berlatih, tapi tetap saja alunan nada tak karuan yang keluar dari sulingku. Aku jadi menyesal kenapa aku tak berusaha sungguh-sungguh sebelumnya. Nunu yang melewati bangkuku memandang sekilas padaku dengan wajah iba. Pasti dalam hati anak itu tertawa senang, pikirku.  Awas ya!

Setelah jam istirahat usai, aku memasuki kelas dengan hati berdebar. Ini waktunya. Mau tak mau, siap tak siap, aku harus maju meniup sulingku. Untung saja namaku dimulai dengan huruf V, jadi sangat kecil kemungkinannya untuk maju paling awal bila urutan maju mengikuti daftar absensi. 

Benar saja, Pak Ade mengabsen Adelia untuk maju. Sebagai yang paling pertama, Adelia meniup sulingnya dengan cukup baik. Lalu berikutnya pasti Afi, tebakku. Tapi Pak Ade tak jua memanggil Afi. Yang kudengar, beliau justru memanggil Zahara. Astaga,  panggilan secara acak?  Usai Zahara, kembali ke absensi nama dengan awalan huruf A : Agus, Ahsan, Aisyah, lalu Zani, lalu Ajat, Akbar, lalu Yoga, lalu Alma, Alia (ternyata banyak nama berawalan huruf A di kelasku). Berarti, giliranku sebentar lagi. Hatiku berdebar makin tak karuan, jangankan mengingat notasi, yang ada tanganku malah gemetaran. 

Di depan, Nunu yang punya nama lengkap Anugrah Ramadhan tampil dengan alunan suling begitu indah. Pak Ade sangat puas sampai bertepuk tangan ketika Nunu selesai, sementara aku sibuk berdoa berharap aku pinsan ketika tiba giliranku. Tapi sayang, doaku tentu saja tak terkabul. Buktinya aku bisa mendengar dengan jelas Pak Ade memanggilku untuk maju. Kugenggam sulingku sambil berjalan lambat-lambat menuju depan kelas lalu berdiri menghadap teman-teman. Aku menghela napas panjang, berusaha meredam debar jantung sebelum mulai meniup sulingku. Kucoba mengingat nadanya, nada lagu yang kemarin dinyanyikan Nunu dengan riang. Ah, sepertinya aku lebih mudah mengingat notasinya jika suara Nunu yang kemarin terngiang di telingaku. Lho, ada apa ini?  Bisa ge-er tuh anak kalau tau. 

Kutempelkan suling bambu itu ke bibirku untuk mulai melantunkan tembang Sunda. Baru satu tarikan napas meniupnya, bibir ini tersengat rasa pedas yang amat sangat. Mulutku manyun tak karuan. Mendadak teman-teman sekelas tertawa melihat tingkahku. Hey, apa dikira mereka aku sedang melucu? Sialan! Aku berhenti meniup suling dan segera mengusap-ngusap bibirku yang terasa bagaikan maju  lima senti. Pipiku memerah, airmataku keluar. Bukan karena sedih, tapi lebih karena rasa pedas yang menempel di bibirku. Ya ampun, bukannya iba padaku, seisi kelas malah tertawa semakin keras. Huh!

“Ada apa, Viska? Kamu sakit?” tanya Pak Ade.

“Ti..tidak, Pak! Suling saya, Pak. Ada yang iseng dengan suling saya, rasanya pedas!” sahutku. Pak Ade mengambil sulingku dan mengamatinya. Keningnya mengernyit, mungkin terendus bau cabai bercampur aroma ludahku disitu, yeaks.. Akhirnya ia mengembalikan suling padaku.

“Dicuci dulu sana! Kalau masih pedas, kamu boleh test minggu depan. Kelihatannya kamu juga perlu minum,” kata Pak Ade. Tumben hari ini ia tak marah-marah.

Daun telingaku serasa tegak, tak salahkan pendengaranku? Aku boleh maju minggu depan. Asyik..! Berarti masih ada waktu untuk mempelajari suling ini. Bergegas aku menuju pintu setelah mengucapkan terimakasih pada Pak Ade. Aku ingin minum dan makan sesuatu untuk menghilangkan rasa pedas ini. Ketika aku menutup pintu kutangkap kerling jenaka di wajah Nunu. Ia bahkan mengedipkan sebelah matanya padaku sambil mengacungkan sebuah cabe rawit di tangannya. Nunu? Awas kamu ya! Mataku mendelik marah ke arahnya, tunggu saja pembalasanku, Nu! Tapi kupikir-pikir bukankah seharusnya aku bersyukur? Sebab meski bibirku serasa dower karena ulahnya, aku jadi punya kesempatan berlatih selama seminggu. Dan... aha! Tiba-tiba saja aku punya ide, aku akan memaksa Nunu mengajariku. 
-*-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar