Hidup tak musti hebat. Sederhana pun bisa berarti ...

Rabu, 03 Juni 2015

Lombok dalam kenangan - Feb 2014

14 Februari 2014 pagi, kami sudah meninggalkan penginapan Ratna di Kuta Bali untuk terbang ke Lombok. Bagasi sejak semalam telah dikemas. Rupanya teman-teman seperjalanan sudah membeli banyak oleh-oleh dari Bali, jadi bisa dipastikan masing-masing kelebihan beban dan harus membayar kelebihan tersebut. Aku hanya membeli beberapa kotak pai, tapi rupanya kena 5 kg juga kelebihan bebannya. Hanya mbak Dhanny yang bawaannya tetap seperti semula.





Kalau di Denpasar kami disambut dengan prosesi pengalungan bunga, maka di Lombok kami disambut dengan prosesi pengalungan selendang begitu tiba di bandara International Praya, Lombok Tengah. 

Para pemuda Sade Village
Salah satu perabotan di rumah
Sade Village
Dari bandara rombongan langsung menuju Sade Village, kampung suku Sasak. Rumah-rumahnya khas dari bambu dengan atap berbentuk gunungan yang terbuat dari alang-alang. Lantainya diolesi kotoran sapi/kerbau supaya tidak mudah lembab dan retak. Ada hal yang tak biasa, ada agama Islam tapi menganut shalat waktu telu. Ada adat khas menculik anak perempuan untuk kawin lari yang dijelaskan oleh tetua adat ketika kami tiba disana. Detailnya aku tak tak terlalu paham, karena sibuk jeprat-jepret lokasi hihihi... *payah nih Ade!

Hujan mengguyur ketika kami tiba di Sade Village
Nenek dengan alat pintal tradisional


Semestinya dari Sade Village kami menuju pantai Kuta yang konon katanya butiran pasirnya besar-besar. Namun karena hujan deras, akhirnya kami singgah makan siang di sebuah rumah makan sambil menanti hujan reda.



Perjalanan dilanjutkan ke koperasi tempat menjual tenun ikat khas Lombok. Harga perlembarnya beuuuh... bagiku muahal banget! Satu hiasan dinding ukuran 0.5 m x 2m dihargai 8 juta. Aku yang tidak punya dana sebanyak itu untuk sekedar oleh-oleh,  ya hanya keliling-keliling cuci mata melihat ibu-ibu yang memborong kain.

Diborong bu ibu.. kainnya...


Ada beberapa tempat menjual kain selain di koperasi tersebut, salah satunya di sebuah desa entah desa apa namanya. Harganya agak miring. Kami juga mengunjungi sebuah toko di kota yang kualitas kainnya bagus-bagus. Ibu-ibu pencinta kain tak segan berburu ke tempat-tempat tersebut. Aku? Enggak deh! Cukup cuci mata melihat kain-kain tersebut.

Ibu Penenun

Kain rangrang yang cantik
hasil buruan di tempat tenun
Kami menginap di Senggigi Beach Hotel. Tempatnya nyaman, tepat berada di pantai Senggigi. Aku sekamar dengan mbak Dhanny. Di kamar sebelah, Riyadh dan mbak Tini, di sebelahnya lagi Eda Ratna dan mbak Tyas. Jadilah group sekretaris ngumpul di satu deret, memudahkan satu-sama lain bila ada keperluan.
Wajah-wajah lelah tapi tetep ceria
Kamar yg kami tempati di Senggigi Beach Hotel

Pagi yang cerah, saat yang tepat untuk menikmati sarapan di bibir pantai. Namun kami harus bergegas karena hari ini tour ke Gili Trawangan. Sebenarnya nyaman bila menghabiskan pagi menikmati jalan di sekitar hotel. Tapi mau bagaimana lagi, bis sudah menunggu di depan. Mudah-mudahan sore nanti ada waktu menikmati matahari tenggelam disini.



Perjalanan ke Gili Trawangan cukup jauh. Kami melewati jalanan berkelok yang cukup terawat, sementara di bawah sana bibir pantai terbentang sepanjang perjalanan. Keindahan yang tak bisa kulukiskan dengan kata-kata.

Untuk menyebrang ke Gili Trawangan kami menggunakan
kapal kayu




Tak ada kendaraan bermotor di Gili Trawangan. Pemandangan turis berjemur hanya memakai bikini sepertinya pemandangan yang biasa disini. Untuk berkeliling pulau ada sepeda yang disewakan, juga cidomo (semacam dokar) untuk berkeliling pulau. Tragedi menyedihkan terjadi disini, kamera alpha yang kubawa tidak berfungsi dengan baik. Aiiiisss...boro-boro mau mengabadikan keindahan pulau. Waktuku habis untuk mengutak-atik kamera yang error. Sebel deh!

Di pulau ini tak ada kendaraan bermotor

Berkeliling Gili Trawangan dengan cidomo
Pantainya indah
Disini pun terdapat tempat konservasi penyu. Setelah berumur setahun, penyu-penyu tersebut dilepas ke laut. Ada beberapa peraturan yang tertera jelas di tempat konservasi ini. Salah satunya : tak boleh memegang penyu.

Ini bukan untuk dimakan loh!
Tidak boleh dipegang!


Ba'da Dzhuhur kami kembali menyebrang meninggalkan Gili Trawangan. Di pelabuhan telah menanti beberapa pedagang mutiara. Jangan terkecoh dengan harganya, karena barang-barang tersebut dijual seharga 3x lipat dari aslinya. Teman-teman yang tidak sabar tentu saja keburu membeli dengan harga mahal. Uniknya, penjual-penjual itu mengikuti kemanapun bis kami pergi. Di setiap pemberhentian, entah ketika kami berhenti di mesjid untuk shalat, berhenti di rumah makan atau berhenti di tempat wisata yang lain, mereka tak menyerah untuk menawarkan kembali dagangannya. Strategi berdagang yang pantang menyerah.


Meski begitu, jangan lewatkan untuk mampir di toko perhiasan mutiara "Lombok Pearl" dan "Lipco Galeria". Harga butiran mutiaranya wow!!! Mupeng deh sebenernya. Tapi otakku masih bisa mengendalikan perasaanku. Aku beli yang terjangkau saja sesuai isi kantong di Lipco Galeria, sebuah kalung dan gelang.  


Pura Karang Bolong
Hari berikutnya kami mengunjungi Pura Karang Bolong tak jauh dari Senggigi. Ada beberapa syarat untuk masuk kesana. Aku dan beberapa teman lebih memilih untuk menikmati pantai dari ketinggian sambil memandang pura di kejauhan.

Pura Karang Bolong di belakang sana


Yang paling khas dari kuliner di Lombok tentu saja ayam taliwangnya dan plecing kangkung. Hampir di setiap rumah makan yang kami sambangi, menu tersebut selalu tersedia. Sampai-sampai temenku nyeletuk, sudah jadi kelinci nih kita makan kangkung mulu. Aku sih seneng-seneng aja tuh dengan kangkung dan sambal plecing yang rasa terasinya begitu dominan. Bahkan untuk oleh-oleh orang-orang tercinta di rumah, aku pesan 5 ekor ayam taliwang. Kupikir cukup banyaklah ayam segitu. Tapi rupanya seorang Bagas saja bisa menghabiskan 1 ekor ayam taliwang sekali makan. Nyesel deh cuma beli 5 ekor untuk oleh-oleh.


Haru ini kami sepakat mengumpulkan bagasi pukul 16.00 di lobby hotel. Ini demi kemudahan pergerakan esok hari menuju bandara. Selain itu, kelebihan beban pun dihitung, sehingga panitia tidak kewalahan menagih esok harinya. Asik packing-packing seperti itu membuat lupa waktu. Hari beranjak sore. Padahal pemandangan di luar sungguh cerah. Ah... sayang terlewatkan, padahal ini sore terakhir di Senggigi. Untunglah masih sempat menikmati meski hanya sekejap. Senja mulai turun, lampu-lampu mulai menyela. Lagi-lagi harus segera berkumpul seusai shalat mahgrib untuk makan malam bersama di sebuah rumah makan entah di kawasan mana. Begini ini nih yang namanya pergi berombongan. Semua sudah terjadwal padat. 

Pantai di Senggigi beach hotel 

Pasir halus Senggigi

Menikmati sunset

Senja di Senggigi

Sepatah dua kata dari Bu Esniar menutup tour Lombok

Para pedangan souvenir yang pantang menyerah

Sampai jumpa di lain waktu...
Berakhir jua widiawisata PWP di Bali dan Lombok. Meninggalkan kesan tersendiri di hati masing-masing. Di bandara Surabaya kami berpisah. Sebagian besar menuju Bontang, beberapa orang dari bagian Ekonomi langsung bertugas belanja keperluan tojasera di Surabaya, beberapa lagi yang tinggal di Jakarta langsung menuju ibukota. 

Perjalanan yang menyenangkan. Berharap suatu saat mendapatkan kesempatan seperti ini lagi dengan destinasi yang berbeda. Semoga saja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar