Hidup tak musti hebat. Sederhana pun bisa berarti ...

Selasa, 01 Mei 2012

FF: Setangkup Cinta Buat Alia


FF ini kuikutkan pada ulangan fiksi di Jum'at Cendol tanggal 13 April 2012. Sampai saat ini nilai belum diumumkan, apakah aku lulus atau tidak? Biarlah. Kucoba kembali membaca dan menemukan beberapa hal yang (menurutku) harus kuperbaiki. Maka kutulis koreksi itu dalam warna merah.  Edisi penulis cerpen pemula, selalu tak bisa menemukan greget dan ending yang mempesona. 



Setangkup Cinta Buat Alia
Oleh : Ade SM

Bagai petir di siang bolong, kabar itu mengguncang hatiku. Raga ayah terbujur kaku di ruang tengah tertutup kain seluruhnya.  Aku memeluk ibu erat-erat, mencoba membagi beban duka bersama. Tamu-tamu yang melayat memandang kami trenyuh. Kudekati jenazah ayah, pandangan mataku mengabur, lalu semua gelap.



Hari tersuram dalam hidupku. Aku menyaksikan pemakaman ayah dengan hati nestapa, begitu pun ibu. Sementara Alia, matanya berputar-putar entah memandang apa. Gadis 15 tahun itu tak menitikkan airmata. Aku tahu, dia sebenarnya bingung melihat begitu banyak orang berdatangan ke rumah. Seperti biasanya, ia tak mengerti apa-apa.

Alia, kakak perempuanku satu-satunya. Kalau aku tumbuh sebagai gadis sempurna, tidak dengan Alia. Di usianya yang menginjak angka 15 ini, tubuhnya tetap kecil. Anggota tubuhnya lengkap, namun rautnya sedikit menyeramkan. Matanya juling, sementara giginya sedikit mencuat. Jangan tanya tentang tingkahnya, meski usianya terpaut dua tahun dariku dan sejatinya dia adalah kakakku, tapi kenyataannya aku seperti mempunyai adik yang tak pernah tumbuh besar. Apakah aku membencinya? Huh, pertanyaan bodoh. Aku, kami sekeluarga sangat menyayanginya.

Alia tumbuh di keluarga yang penyayang. Beruntungnya kami mempunyai ayah yang besar hati melindungi kedua buah hatinya. Ayah ajarkan ibu dan aku untuk selalu menerima Alia dan menjadikannya bagian hidup kami, walau Alia tak sempurna. Aku ingat, betapa ayah tak pernah segan membawa kami pada acara-acara pertemuan keluarga yang diadakan kantornya, mengenalkan aku dan Alia pada teman-teman kerjanya. Menjelaskan dengan sabar arti perkataan Alia kepada orang yang tak mengerti ucapan Alia, bahkan menerima dengan lapang hati tatapan heran dan bisik-bisik di belakangnya. Begitupun ibuku, segala kasihnya tercurah untuk kami berdua, tanpa terkecuali. Alia tak akan mendapat perlakuan tak menyenangkan di hadapan mereka berdua. Alia mendapatkan kebahagiaan seperti diriku.

Kini ayah telah pergi, meninggalkan duka mendalam di hati kami. Siapa yang akan menjadi pelindung kami? Aku memandang ibu. Ia merengkuh Alia dan aku kedalam pelukannya. memeluk kami berdua erat-erat. Airmatanya sudah mengering, tapi mata sembabnya tak bisa berbohong. Ia gamang menghadapi hidup tanpa ayah. “Kita akan kuat,” bisiknya pada kami, tapi naluriku mengatakan kalimat itu lebih ditujukan pada dirinya sendiri.  Aku balas memeluk ibu, sementara Alia asyik memainkan ujung kukunya.

Hari-hari berikutnya kami harus membiasakan diri hidup tanpa ayah, berat rasanya. Tak ada lagi yang pegang komando dan selalu menciptakan suasana segar di rumah. Ibu lebih banyak termangu, Alia berulang kali mengucapkan, “Awh.. Awh..” sambil bolak-balik keluar masuk satu ruangan ke ruangan yang lain. Aku tahu, ia mulai merasa kehilangan sosok ayah dan berusaha mencarinya.

“Ayah telah tidur lelap, Alia. Ayah bubu,” ucapku berusaha menjelaskan pada Alia sambil menangkupkan kedua tangan di pipi, memperagakan orang tidur. Airmataku mulai turun. Alia balik memandangku, menyentuh airmata yang membasahi pipiku. Ia sepertinya mengerti. Mata Alia yang berputar-putar mengerjap, ada bening yang menitik. Aku baca kesedihan di matanya. Ah, Alia... kesedihan yang terlambat.

Siang itu udara cukup terik. Aku baru pulang sekolah dan membuka pintu ketika tangan Alia menarikku dengan paksa. Ini bulan ketiga tanpa kehadiran ayah.

“Ica..Ica.. mbu bubu..” kata Alia. Aku berusaha memahami perkataannya, sepertinya ia ingin mengatakan kalau ibu tidur.

“Psstt.. kalau ibu bubu, jangan berisik! Nanti ibu terganggu. Kasihan ibu,” bisikku pada Alia.

“Mbu.. bubu teyus gi..agi,” katanya lagi.
    
         “Mungkin ibu capek,” kataku sambil meletakkan tas sekolah, tapi Alia memaksaku untuk mengikutinya ke kamar ibu. Astaga, kuat juga Alia menarikku hingga aku terseok-seok mengikutinya. Di kamar ibu, kusaksikan pemandangan yang tak pernah kuduga. Ibu tergeletak di tempat tidurnya dengan mulut berbusa.
 
“Ibuuuu...!” teriakku. Aku kalap, antara hendak memeluk ibu dan mencari pertolongan. Tetangga mulai berdatangan mendengar teriakanku. Ibuku dibawa ke rumah sakit, tapi jiwanya tak tertolong. Ibu meninggalkan kami dengan cara yang tak pernah terlintas di benakku, bunuh diri! Naluriku benar, ibu tak kuat hidup tanpa ayah, apalagi mengurus Alia yang tak sempurna. Selama ini kebesaran hatinya menerima Alia lebih karena kecintaannya pada ayah. Penopang itu telah tiada, dan ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Tragis.

Kini, tinggal aku dan Alia duduk terpekur menatap gundukan tanah merah. Airmataku meleleh tiada hentinya. Di usia beliaku, aku kehilangan kedua orangtuaku, sementara di pundakku ada tanggung jawab besar, masa depanku sendiri dan Alia. Aku teringat pesan ayah untuk selalu menyayangi Alia selamanya. Kupeluk Alia erat-erat dalam bayang kelam akan hari depanku. Kalau bukan aku yang menyayanginya, siapa lagi? Aku berharap ada setitik cerah menghampiri.

Bontang, 13 April 2012.

1 komentar:

  1. Mbak ... bagus koq. Mbak Sri malah sudah mengoreksinya sendiri. Menurut saya bagus, mengharukan.

    BalasHapus