Oleh : Ade SM
Namanya Asep. Sunda tulen. Logatnya yang khas tetap kentara meski sudah hampir 20 tahun tinggal di Kalimantan. Selagi aku remaja, ibuku yang Jawa asli suka menasihati jangan menikah sama orang Sunda, istrinya di mana-mana. Maklum, rata-rata tetangga ibuku maupun teman ayahku yang Sunda kebetulan punya istri lebih dari satu. Nggak salah juga kan kalau ibuku berpendapat begitu?
Tapi temanku yang satu ini si Asep yang Sunda tulen dan beristrikan orang Jawa, tidak masuk katagori laki-laki Sunda yang ibuku maksudkan. Sepanjang sejarah hidup rumah tangganya, kulihat ia begitu setia dengan istrinya. Di saat susah, di saat senang. Di saat teman-temannya yang mapan mulai melirik wanita di luar istrinya, si Asep ini tetap setia menggandeng lengan Retno istrinya, persis sama ketika dulu masih pacaran.
Masih kulihat mereka berdua melakukan aktifitas seperti 17 tahun yang lalu kala masih pengantin baru. Jalan santai berdua di pagi hari Sabtu ataupun Minggu. Bercanda sambil menikmati indahnya pagi. Bersenda gurau di pekarangan rumahnya sambil berkebun. Ataupun sekedar keliling komplek berdua dengan motor tuanya sambil sang istri mendekap erat si Asep. Bahasa tubuh mereka berdua itu lho yang bikin orang banyak bakal iri. Kayaknya dunia hanya milik mereka berdua.
Tapi, apa iya sih mereka berdua adem-adem saja hubungannya? Jangan-jangan mereka punya juga masalah, atau malah mungkin si Asep sebenarnya sudah mendua, tapi istrinya gak tau. Wuah, gak percaya aku. Pasti nih si Asep pintar menyembunyikan sifat buayanya.
Alhasil, hari-hari terakhir ini aku jadi suka memperhatikan sikap si Asep, kalau-kalau ada yang mencurigakan gitu, untuk membuktikan bahwa dia itu sama aja dengan lelaki yang lain. Yang gak cukup punya istri satu. Soalnya sudah sering sih aku lihat temen laki-laki yang kayak Asep, keliatannya baeeekkk banget sama keluarga, tahunya meleng dikit nggandeng cewek abg. Gombal kan ?
”Apa? Mona? Putih ya?” Nah.. nah.. ada apa nih si Asep nyebut-nyebut nama cewek, putih lagi. Telinga mulai kupasang baik-baik.
“Oh, sudah satu setengah tahun. Bersih? Yang penting cakep kan? Boleh juga tuh! Nanti saya ke sana deh.”
Duile si Asep, segitunya. Tanpa basa-basi langsung tancep aja, hatiku membatin. Kasian juga si Retno ya, kalau Asep sampai kecantol si Mona yang putih, yg baru satu setengah tahun tinggal di Kalimantan, anganku melanjutkan. Apa yang bakal terjadi pada biduk rumah tangga mereka kelak ? Ih, Asep. Teganya dikau! Aku jadi sebel padanya. Nilainya jadi jatuh di mataku. Benerkan dugaanku? Tak ada laki-laki setia.
Hari berganti, minggu berlalu. Tingkah si Asep makin nyebelin. Setiap kali dia bicara di telpon dengan seseorang, yang diomongin tak lepas dari si Mona yang aduhai menurutnya. Aku sebenernya tak ingin nguping. Tapi tetap saja ada beberapa kalimatnya yang agak keras terdengar sampai telingaku. Toh jarak meja kami hanya dilapisi sebuah lemari berderet. Malah pernah kudengar Asep menyebut-nyebut assessories dan perlengkapan si Mona, kalung, shampoo, parfum?
Duh, gile juga si Asep. Punya cewek baru segitu detilnya mbeliin perlengkapan. Jangan-jangan sebentar lagi dia belikan rumah tuh cewek.
Aku geleng-geleng kepala terbawa khayalku. Tak terbayangkan wajah Retno yang ayu akan terkejut seperti apa jika mengetahui tingkah suaminya. Aku prihatin banget. Ingin aku memberi tahu Retno, tapi aku khawatir prasangkaku ini malah akan membuat rumah tangga mereka hancur.
Aku tak mengenal Retno terlalu dekat. Jangan-jangan nanti dikiranya aku hendak mengacaukan keharmonisan rumah tangganya, bisa berabe kan? Aku berpikir beribu kali sebelum memutuskan untuk memberitahukan ini pelan-pelan pada Retno. Harus cari timing yang tepat dan harus yakin bahwa penghianatan Asep sudah tiba pada klimaksnya. Aku akan tunggu saat itu tiba, namun aku masih berharap semoga Asep tersadar dari perbuatannya itu sebelum aku benar-benar cerita dengan Retno.
Suatu hari telpon Asep berdering. Tak ada yang mengangkat. Kemana sih Asep ini? Akhirnya kuangkat juga telpon itu. Suara seorang remaja di sebrang menanyakan Asep. Kujawab sedang keluar. Dia meninggalkan pesan, Asep diminta segera pulang sambil carikan dokter, Mona mau melahirkan katanya.
Kaget setengah mati aku, sampai telpon terputus tak kuhiraukan. Berapa lama sudah Asep dan Mona berkenalan? Ah, aku menyesal kenapa kupikir Asep bakal berubah. Ternyata tidak. Kini Mona malah sudah hamil bahkan hendak melahirkan. Aku harus menghubungi Retno. Tapi bagaimana memulai untuk menceritakan ini. Aku bingung juga. Kuletakkan gagang telpon. Baru sesaat, telpon berdering kembali. Was-was aku angkat telpon.
“Halo, selamat pagi. Bisa bicara dengan Pak Asep?” suara Retno di sebrang.
“Hm, selamat pagi. Retno ya? Bagaimana kabarnya? Pak Asepnya sedang keluar” aku menjawab hati-hati.
“Baik Sri. Ng.. lama nggak ya keluarnya? HP nya juga tidak bisa dihubungi. Kemana ya perginya?” nada bingungnya itu mengundang tanda tanya di kepalaku, apakah Retno sudah punya firasat sedang terjadi sesuatu? Aku ngeri juga membayangkannya.
Pelan-pelan aku bertanya, “Sebenarnya ada apa sih Retno?”
“Ini nih, si Mona mau melahirkan. Mana sudah berdarah-darah lagi. Cari dokter di mana ya?”
Tak ada nada cemburu, yang terasa malah nada khawatir. Astagfirullah, Retno…Retno, madunya mau melahirkan dia malah nyariin dokter.
Gile! Gini kali ya tipe istri setia calon penghuni surga? Gak ada rasa cemburu. Aku jadi malu hati. Aku yang bukan apa-apanya Asep bahkan sudah menganggap Asep tak berharga, eh sang istri kok malah nggak ya?
“Sekarang Monanya dimana?” tanyaku.
“Ya di rumahku.” Duh Gusti, serumah dengan Retno! Weleh-weleh… Aku kok ketinggalan kereta gini ya informasinya. Kok kayaknya ada yang salah. Sudah edankan Retno? Atau aku yang salah dengar?
“Ya sudah, kalau kamu tidak tahu alamat dokter hewannya, ya gak papa. Biar aku cari di buku telpon saja”
“Retno, masak sih Mona mau melahirkan dipanggilkan dokter hewan?” aku kaget, jangan-jangan ini kesempatan Retno balas dendam pada suaminya.
“Ya iya lah, masak mau dipanggilkan bidan. Ntar bidannya malah gak ngerti!”. Kelihatannya ada yang tidak beres nih.
“Retno,” aku mulai bicara hati-hati. “Mona mau melahirkan?”
“Iya”
“Di rumahmu?”
“Iya”
“Kenapa harus panggil dokter hewan? Bukankah…..”
“Iya, dokter hewan. Kamu punya kenalan dokter hewan? Kasihtahu dong!”
“Apa Mona nanti tidak tersinggung?”
“Kamu nih aneh deh Sri. Aku butuh dokter hewan. Si Mona mau melahirkan. Emang kamu pikir Mona siapa?!” Retno mulai tidak sabar.
“Mona itu, madu....”
“Ngaco!! Mona itu kucing Persia kesayangan suamiku tahu!”
-----0-----
Dimuat di Kaltim Post, Minggu 29 Mei 2011
Namanya Asep. Sunda tulen. Logatnya yang khas tetap kentara meski sudah hampir 20 tahun tinggal di Kalimantan. Selagi aku remaja, ibuku yang Jawa asli suka menasihati jangan menikah sama orang Sunda, istrinya di mana-mana. Maklum, rata-rata tetangga ibuku maupun teman ayahku yang Sunda kebetulan punya istri lebih dari satu. Nggak salah juga kan kalau ibuku berpendapat begitu?
Tapi temanku yang satu ini si Asep yang Sunda tulen dan beristrikan orang Jawa, tidak masuk katagori laki-laki Sunda yang ibuku maksudkan. Sepanjang sejarah hidup rumah tangganya, kulihat ia begitu setia dengan istrinya. Di saat susah, di saat senang. Di saat teman-temannya yang mapan mulai melirik wanita di luar istrinya, si Asep ini tetap setia menggandeng lengan Retno istrinya, persis sama ketika dulu masih pacaran.
Masih kulihat mereka berdua melakukan aktifitas seperti 17 tahun yang lalu kala masih pengantin baru. Jalan santai berdua di pagi hari Sabtu ataupun Minggu. Bercanda sambil menikmati indahnya pagi. Bersenda gurau di pekarangan rumahnya sambil berkebun. Ataupun sekedar keliling komplek berdua dengan motor tuanya sambil sang istri mendekap erat si Asep. Bahasa tubuh mereka berdua itu lho yang bikin orang banyak bakal iri. Kayaknya dunia hanya milik mereka berdua.
Tapi, apa iya sih mereka berdua adem-adem saja hubungannya? Jangan-jangan mereka punya juga masalah, atau malah mungkin si Asep sebenarnya sudah mendua, tapi istrinya gak tau. Wuah, gak percaya aku. Pasti nih si Asep pintar menyembunyikan sifat buayanya.
Alhasil, hari-hari terakhir ini aku jadi suka memperhatikan sikap si Asep, kalau-kalau ada yang mencurigakan gitu, untuk membuktikan bahwa dia itu sama aja dengan lelaki yang lain. Yang gak cukup punya istri satu. Soalnya sudah sering sih aku lihat temen laki-laki yang kayak Asep, keliatannya baeeekkk banget sama keluarga, tahunya meleng dikit nggandeng cewek abg. Gombal kan ?
”Apa? Mona? Putih ya?” Nah.. nah.. ada apa nih si Asep nyebut-nyebut nama cewek, putih lagi. Telinga mulai kupasang baik-baik.
“Oh, sudah satu setengah tahun. Bersih? Yang penting cakep kan? Boleh juga tuh! Nanti saya ke sana deh.”
Duile si Asep, segitunya. Tanpa basa-basi langsung tancep aja, hatiku membatin. Kasian juga si Retno ya, kalau Asep sampai kecantol si Mona yang putih, yg baru satu setengah tahun tinggal di Kalimantan, anganku melanjutkan. Apa yang bakal terjadi pada biduk rumah tangga mereka kelak ? Ih, Asep. Teganya dikau! Aku jadi sebel padanya. Nilainya jadi jatuh di mataku. Benerkan dugaanku? Tak ada laki-laki setia.
Hari berganti, minggu berlalu. Tingkah si Asep makin nyebelin. Setiap kali dia bicara di telpon dengan seseorang, yang diomongin tak lepas dari si Mona yang aduhai menurutnya. Aku sebenernya tak ingin nguping. Tapi tetap saja ada beberapa kalimatnya yang agak keras terdengar sampai telingaku. Toh jarak meja kami hanya dilapisi sebuah lemari berderet. Malah pernah kudengar Asep menyebut-nyebut assessories dan perlengkapan si Mona, kalung, shampoo, parfum?
Duh, gile juga si Asep. Punya cewek baru segitu detilnya mbeliin perlengkapan. Jangan-jangan sebentar lagi dia belikan rumah tuh cewek.
Aku geleng-geleng kepala terbawa khayalku. Tak terbayangkan wajah Retno yang ayu akan terkejut seperti apa jika mengetahui tingkah suaminya. Aku prihatin banget. Ingin aku memberi tahu Retno, tapi aku khawatir prasangkaku ini malah akan membuat rumah tangga mereka hancur.
Aku tak mengenal Retno terlalu dekat. Jangan-jangan nanti dikiranya aku hendak mengacaukan keharmonisan rumah tangganya, bisa berabe kan? Aku berpikir beribu kali sebelum memutuskan untuk memberitahukan ini pelan-pelan pada Retno. Harus cari timing yang tepat dan harus yakin bahwa penghianatan Asep sudah tiba pada klimaksnya. Aku akan tunggu saat itu tiba, namun aku masih berharap semoga Asep tersadar dari perbuatannya itu sebelum aku benar-benar cerita dengan Retno.
Suatu hari telpon Asep berdering. Tak ada yang mengangkat. Kemana sih Asep ini? Akhirnya kuangkat juga telpon itu. Suara seorang remaja di sebrang menanyakan Asep. Kujawab sedang keluar. Dia meninggalkan pesan, Asep diminta segera pulang sambil carikan dokter, Mona mau melahirkan katanya.
Kaget setengah mati aku, sampai telpon terputus tak kuhiraukan. Berapa lama sudah Asep dan Mona berkenalan? Ah, aku menyesal kenapa kupikir Asep bakal berubah. Ternyata tidak. Kini Mona malah sudah hamil bahkan hendak melahirkan. Aku harus menghubungi Retno. Tapi bagaimana memulai untuk menceritakan ini. Aku bingung juga. Kuletakkan gagang telpon. Baru sesaat, telpon berdering kembali. Was-was aku angkat telpon.
“Halo, selamat pagi. Bisa bicara dengan Pak Asep?” suara Retno di sebrang.
“Hm, selamat pagi. Retno ya? Bagaimana kabarnya? Pak Asepnya sedang keluar” aku menjawab hati-hati.
“Baik Sri. Ng.. lama nggak ya keluarnya? HP nya juga tidak bisa dihubungi. Kemana ya perginya?” nada bingungnya itu mengundang tanda tanya di kepalaku, apakah Retno sudah punya firasat sedang terjadi sesuatu? Aku ngeri juga membayangkannya.
Pelan-pelan aku bertanya, “Sebenarnya ada apa sih Retno?”
“Ini nih, si Mona mau melahirkan. Mana sudah berdarah-darah lagi. Cari dokter di mana ya?”
Tak ada nada cemburu, yang terasa malah nada khawatir. Astagfirullah, Retno…Retno, madunya mau melahirkan dia malah nyariin dokter.
Gile! Gini kali ya tipe istri setia calon penghuni surga? Gak ada rasa cemburu. Aku jadi malu hati. Aku yang bukan apa-apanya Asep bahkan sudah menganggap Asep tak berharga, eh sang istri kok malah nggak ya?
“Sekarang Monanya dimana?” tanyaku.
“Ya di rumahku.” Duh Gusti, serumah dengan Retno! Weleh-weleh… Aku kok ketinggalan kereta gini ya informasinya. Kok kayaknya ada yang salah. Sudah edankan Retno? Atau aku yang salah dengar?
“Ya sudah, kalau kamu tidak tahu alamat dokter hewannya, ya gak papa. Biar aku cari di buku telpon saja”
“Retno, masak sih Mona mau melahirkan dipanggilkan dokter hewan?” aku kaget, jangan-jangan ini kesempatan Retno balas dendam pada suaminya.
“Ya iya lah, masak mau dipanggilkan bidan. Ntar bidannya malah gak ngerti!”. Kelihatannya ada yang tidak beres nih.
“Retno,” aku mulai bicara hati-hati. “Mona mau melahirkan?”
“Iya”
“Di rumahmu?”
“Iya”
“Kenapa harus panggil dokter hewan? Bukankah…..”
“Iya, dokter hewan. Kamu punya kenalan dokter hewan? Kasihtahu dong!”
“Apa Mona nanti tidak tersinggung?”
“Kamu nih aneh deh Sri. Aku butuh dokter hewan. Si Mona mau melahirkan. Emang kamu pikir Mona siapa?!” Retno mulai tidak sabar.
“Mona itu, madu....”
“Ngaco!! Mona itu kucing Persia kesayangan suamiku tahu!”
-----0-----
Dimuat di Kaltim Post, Minggu 29 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar