Hidup tak musti hebat. Sederhana pun bisa berarti ...

Minggu, 28 Agustus 2011

Ketika Lebaran Tiba

Oleh : Ade SM

Ranti memandang amplop di tangannya, tebal dan tentu saja bukan jumlah yang sedikit. THR yang didapat suaminya memang terhitung lumayan. Tapi seperti tahun-tahun sebelumnya, Ranti hanya memegang lembaran uang tersebut tanpa bisa menggunakannya. Ada sederet nama yang musti mendapat jatah, mulai dari adik-adik suami, paman, bibi, keponakan, sepupu, tukang kebun dan nama-nama lain.



“Kamu itu beruntung dapat suami yang bekerja di perusahaan besar dengan gaji besar pula. Coba kalau enggak karena aku kenalkan padanya, kamu masih tetep jualan soto di pasar Rawa Indah,” kata bibinya selalu. Ranti hanya bisa tersenyum.

Ia memang beruntung mendapatkan Taufik, lelaki yang sangat baik. Saking baiknya, lelaki itu tak pernah sanggup menolak permintaan saudara-saudaranya yang datang dan butuh pertolongan. Pada akhirnya, Rantilah yang harus mengerti serta pandai-pandai mengatur keuangan keluarga. Sebesar apapun gaji Taufik, tak mungkin cukup kalau harus selalu digunakan untuk keperluan keluarga besarnya.

Bukan Ranti tak ikhlas. Bukan! Mana mungkin ia bisa bertahan belasan tahun dalam kondisi seperti ini bila ia tak ikhlas. Tapi tahun ini benar-benar tahun penuh ujian. Anak iparnya baru saja masuk rumah sakit, sementara keponakan yang lain perlu dana untuk mendaftar masuk sekolah. Penerimaan murid baru yang berdekatan dengan bulan Ramadhan tak urung menguras tabungan mereka. Hari gini, apa yang gratis? Semua perlu dana besar dan semua mengharap kebaikan hati Taufik, tanpa memperhitungkan perasaanku, bisik hati kecil Ranti.

Astagfirullah, Ranti menepis rasa itu. Segera ia siapkan beberapa amplop dan menuliskan nama serta jumlah uang yang harus dimasukkan ke dalamnya sesuai pesan suami. Sampai amplop terakhir, tersisa limaratus ribu rupiah. Yah, cukuplah untuk membuat ketupat dan opor ayam juga sedikit kue kering untuk lebaran nanti.

“Ma, baju lebaran yang ini bagus ya? Kapan kita pakai baju lebaran seragam seperti ini?” Anisa si bungsu mengangsurkan sebuah majalah dengan potret sebuah keluarga ceria menyambut lebaran. Tak biasanya anak itu minta baju lebaran.

“Lebaran kan enggak identik dengan baju baru!” kata Alia mendelik, si sulung yang punya sikap lebih dewasa dari usianya. Ranti bersyukur diberi anak-anak yang mengerti dan tak rewel masalah penampilan. Tapi dipikir-pikir, sudah lama sekali mereka tidak membeli baju baru. Baju koko Taufik pun sudah mulai pudar warnanya. Membayangkan mereka sekeluarga memakai baju baru yang senada di hari raya, bukan ide yang jelek. Tapi masyaallah, mahal nian harganya! Rasanya kurang bijaksana menghabiskan uang hanya untuk penampilan, sementara keluarga yang lain masih butuh pertolongan.

“Dik Nisa kepingin banget baju baru ya?” tanyanya kepada si bungsu. Anisa mengangguk.

“Kak Lia enggak kepingin?” tanya Ranti pada si sulung. Gadis itu membuang muka. Ranti tahu sebenarnya Lia menginginkan hal yang sama.

“Insyaallah Mama bisa belikan kalian baju baru, tapi dengan satu syarat.. bantu Mama ya?” Ranti membeberkan rencananya. Kedua gadisnya tersenyum dan menggangguk.

Misi segera dimulai. Hari itu mereka belanja bahan-bahan kue dan beberapa hari berikutnya berkutat di dapur berbagi tugas. Di sela-sela kesibukan itu, Ranti menyempatkan meng-upload koleksi foto-foto kue kering dan tart yang pernah ia buat tahun lalu di jejaring sosial. Ia pun menawarkan kue dengan cara menelpon tetangga dan teman-teman dekatnya. Ada yang antusias menyambut tawarannya, ada yang menolak, ada pula yang menggoda, “Ya ampun Ranti, getol amat cari duit! Memangnya gaji suamimu enggak cukup buat lebaran?”

Ah, peduli amat dengan olokan itu. Aku ingin membelikan suami dan anak-anakku baju baru. Tak mudah memang, perlu usaha dan kerja keras. Hasilnya? Seminggu telah berlalu, belum ada yang datang membeli. Ranti memandang lesu toples kuenya. Mau diapakan kue sebanyak ini? Termangu ia memikirkan langkah selanjutnya....

Tingtong! Terdengar suara bel pintu berbunyi.

“Dina? Masuk..masuk..! Pagi-pagi begini sudah beredar, ada apa nih?” tanya Ranti.

“Ini lho, Kak. Rencana bakti sosial Ramadhan seperti tahun lalu,” sahut Dina. “Eh, Kak Ranti dagang kue lebaran? Cicip boleh dong!”

“Memangnya kamu enggak puasa?” tanya Ranti.

“Biasa, Kak... lagi dapat,” sahut Dina sambil mencicip nastar. “Hm, enak banget! Berapa duit setoples, Kak?”
Ranti menyebutkan sejumlah angka.

“Murah banget! Aku ambil 10 toples ya, Kak. Masing-masing jenis satu toples aja, sisanya nastar semua!” seru Dina sambil mengambil dompet dan menyerahkan sejumlah uang. Tangan Ranti bergetar menerimanya, hatinya riang bukan kepalang. Sepuluh toples sudah cukup mengembalikan modal. Tak berapa lama setelah Dina pergi, ada saja yang menelpon menanyakan kue dan memesannya. Di jejaring sosial pun begitu, tak kurang selusin orang memesan blackforest & tart keju untuk hari raya. Alhamdulillah.

Gema takbir berkumandang membawa kesejukan di hati Ranti. Hari ini, jadi juga mereka mengenakan pakaian anyar berwarna senada menyambut Idul Fitri. Senyum tak pernah lepas dari wajah Alia dan Anisa, walau dua minggu terakhir ini mereka kelelahan karena bekerja keras membantunya menyelesaikan pesanan. Saat malam pun tak pernah mereka lewatkan tanpa tarawih dan membaca Al-Qur’an. Taufik sendiri begitu terharu melihat usaha istri dan anak-anaknya. Lebaran kali ini begitu istimewa, meja makan terlihat lebih semarak hidangannya. Ruang tamu pun lebih cantik, ada karpet baru di sana. Harusnya aku yang membelikannya, batin Taufik.

“Assalamu’alaikum..” suara gaduh serombongan orang di depan pintu.

“Bibi? Kami baru mau ke sana, eh.. keduluan Bibi yang kesini,” seru Taufik menyambut dan segera mencium tangan Bi Ani. Tak biasanya Bi Ani yang datang berkunjung. Di belakang Bi Ani berderet sepupu dan para keponakan berebutan mencium tangannya.

“Ayo, ayo, masuk sini! Ada ketupat sama opor ayam nih,” Ranti mempersilahkan. Senangnya dikelilingi banyak saudara.

“Tante... karpetnya lembut sekali,” kata keponakan yang satu.

“Tartnya juga lezaaaat...!” sahut yang lain.

“Aku mau es buah! Aku mau opor! Aku mau es krim!” ramainya celoteh mereka. Tiba-tiba Bi Ani mendekat, menggamit lengan Ranti dan berkata, “Enak ya, Ran.. punya suami kaya. Lebaran begini segala hidangan tersedia. Enggak perlu mikir sama harga barang yang pada naik. Baju kalian pun baru dan bagus-bagus. Tapi omong-omong, kok Bibi cuma dikasih angpao limaratus ribu sih? Pelit deh kamu!”

Alia yang mendengar ucapan Bi Ani mendelik, sementara Taufik tersenyum kecut. Ranti mengedipkan mata pada mereka berusaha menenangkan, padahal hatinya sendiri sungguh tercekat.

“Bibi ingin apa?” tanya Ranti.

“Ya, sekali-kali dong Bibi dibelikan tiket plesir, ke Singapura kek! Duit banyak tuh jangan diumpetin mulu! Itung-itung bales jasalah, kalau bukan karena Bibi.. enggak bakalan kan kamu seperti ini,” jawab Bi Ani polos.

Hasyah... gubrak deh! Begitu pelitnyakah mereka di mata Bi Ani? Ranti dan Taufik hanya bisa saling pandang, nelangsa.(*)





dimuat di harian 'Kaltim Post'
Kolom Cerpen, Minggu 28 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar