Pagi menjelang subuh saat kami tiba di hotel 'Dyar International'
setelah perjalanan panjang yang melelahkan,
Bontang-Balikpapan-Singapore-Dubai-Jeddah-Madinah. Koper-koper merah
masih bertumpuk di dekat pintu. Aku melepas jam tangan dan jilbabku lalu
kutaruh di atas meja. Sementara suamiku meraba kantung-kantung baju dan
celananya. Wajahnya agak menegang. Tentu saja aku jadi curiga ketika ia
melakukannya berulang-ulang.
“Ada apa sih?” tanyaku penasaran.
“Dompet,” katanya singkat.
“Kenapa dompetnya? Hilang?” aku menebak.
“Keliatannya begitu...” jawabnya ragu.
“Coba diingat-ingat, terakhir ditaruh dimana?”
“Disini. Kantung celana luar,” jawabnya
“Lho, biasanya kan Abi kalau naruh dompet di celana pendek bagian dalam. Coba periksa lagi!” saranku.
“Enggak ada!”
Aku berusaha tenang, tapi tak urung keluar juga pertanyaan, “Kartu-kartu ditaruh di dompet semua?”
“Enggak! Kartu ATM dan kartu kredit ada disini,” tunjuknya pada tempat kartu. “Tapi KTP, SIM dan uang ada di dompet,” lanjutnya.
“Telpon ustadz saja! Bisnya kan bis carteran, siapa tahu tertinggal di bis. Tapi kalau jatuh di tempat beli ‘teh susu’ di Jeddah atau justru ketinggalan di penginapan di Singapore, ya sudah.. wasalam,” kataku.
Aku heran, dua kali kami bertandang ke kota Haram, dua kali pula suamiku mengalami hal serupa. Tujuh tahun yang lalu ketika kami menunaikan ibadah haji, baru hari ketiga tinggal di Mekkah, tas berisi paspor, dompet dan surat-surat penting suamiku tertinggal di 'Hijr Ismail' seusai kami melakukan tawaf dan shalat sunnah. Kejadiannya pun sama, di dini hari menjelang shalat subuh. Semua uang bekal rupiah dan living cost riyal suamiku ada di tas itu. Pucat pasi kami melapor kepada askar penjaga. Kami dibawa ke sisi kanan 'Hijr Ismail'. Di atas tembok pojok itu tergeletak beberapa tas yang tak bertuan, tapi tak ada satupun tas berlambang bendera Indonesia milik suamiku.
Akhirnya kami dibawa ke kantor tempat penampungan tas-tas paspor yang tertinggal pemiliknya. Letak kantornya di sisi luar masjidil Haram, dekat daerah Safa. Di kantor itu ada rak kotak-kotak seperti tempat menaruh sandal yang isinya berbagai macam tas paspor dari berbagai negara. Lagi-lagi tak ada tas kepunyaan suamiku. Penjaga kantor hanya bisa prihatin atas keadaan kami, sementara Askar menyarankan kami untuk shalat subuh dan memohon pada Allah karena adzan mulai berkumandang. “Selesai shalat barang anda akan kembali, insyaallah,” hiburnya.
Hilang sudah kesempatan untuk shalat tahajud di Masjidil Haram sepertiga malam itu akibat keteledoran kami. Perjalanan masih panjang, masih sebulan kami akan berada di sini, sementara uang yang tersisa hanya kepunyaanku saja. Insyaallah cukup sih untuk membayar Dam dan sekedar makan. Kartu ATM? Wah, pada masa itu kami belum menggunakan kartu ATM. Ada kartu kredit Citibank, tapi menurut pengalaman beberapa teman, jarang ada toko yang menerima pembayaran dengan kartu kredit pada saat itu. Dengan lunglai dan hati pasrah kami melaksanakan shalat subuh. Suamiku tak henti-hentinya berdoa, memohon kebaikan bagi kami.
Tak dinyana, selepas shalat subuh HP kami berbunyi tanda sms masuk. “Mas Epi, tas paspornya ada di kami,” bunyi sms dari seorang teman satu rombongan. Sms singkat yang membuat kami melonjak, menebarkan semangat baru dan kegembiraan yang luar biasa. Alhamdulillah, tak terkira senangnya hati kami! Siapa yang menyangka teman kami itu shalat tepat di belakang kami tadi, sehingga ketika melihat tas yang ditinggal suamiku, dia segera menyelamatkannya. Sebuah keberuntungan yang nyata!
Nah, kalau sekarang kejadian kehilangan terulang lagi, akankah keberuntungan pun terjadi? Wallahu alam. Ini kota suci. Kami percaya pertolongan Allah. Yang pertama harus kami lakukan tentu saja melapor pada ustadz pembimbing untuk mencoba menghubungi supir bis dan mencari tahu adakah dompet tersebut tertinggal di bis? Tentu saja kami berharap keberuntungan berpihak pada kami. Walau uang di dompet yang hilang tak sebanyak dulu, tapi malas betul membayangkan kami harus mengurus ulang pembuatan KTP, SIM dan lain-lain di tanah air nanti. Siang itu menjelang city tour di kota Madinah, Ustadz Pembimbing datang membawa sebuah dompet berisi KTP, SIM dan uang milik suamiku. Wow, betapa beruntungnya kami! Untuk kedua kalinya hal ini terjadi, barang kami kembali dengan utuh. *tapi kami berharap tak akan ada lagi kejadian kehilangan “part tiga” di kemudian hari. Wew, ogah dah!
Bicara soal keberuntungan, pernahkah terlintas di pikiranmu untuk mengkhayal sesuatu yang muskil dengan berandai-andai? *Seperti lagunya Opi Andaresta itu lho.. Nggak pernah? Wah, anda termasuk orang yang merugi! Mengkhayal itu gratis lho, dan tentu saja membuat hati senang. Nggak percaya? Ini kisahku. Sebulan sebelum memutuskan untuk pergi umroh, aku dan suami berandai-andai. Ini bermula dari percakapan soal teman-teman kerja suami yang mulai menikmati dinas ke luar negeri. Terbersit di hati, kapan ya suamiku juga bisa dinas ke luar negeri, kan gratis. Terus aku bisa ikut mendampinginya. Aih.. mengkhayal. Aku tahu siapa suamiku, apa jabatannya. Sebagai pegawai biasa sepertinya nggak mungkin deh impian yang ini terjadi. Bagai pungguk merindukan bulan. Untuk itulah kami berandai-andai *idiiihh... dasar pengkhayal!
“Ya sudah, kita pergi umroh saja yuk! Kan keluar negeri juga. Berpahala lagi,” usul suami.
“Ide bagus tuh! Paspornya berlaku 5 tahun, tapi kalau cuma buat sekali pergi, kan sayang.”
“Yah, siapa tahu karangan Umi yang ikut lomba di PWP itu menang, kan bisa ke Hongkong kita.”
“Iya ya.. siapa tahu menang. Ya pergi umroh, ya pergi jalan-jalan ke Hongkong. Wuih.. asyik banget! Hihihi, mengkhayal boleh kan? Tapi kalau beneran menang dan taunya saat itu kita lagi umroh, bagaimana?”
“Enggak apa-apa, kita minta ke Panitia supaya tiketnya bisa diundur. Habis umroh, baru kita ke Hongkong”
Whuah... dua orang pengkhayal yang bercakap-cakap seolah-olah hal itu memang bakal terjadi. Seandainya orang lain mendengar pasti menganggap kami ‘aneh’ hehehe. Tahukah teman, percakapan ini kami lakukan di awal bulan Mei, beberapa hari setelah aku mengirim naskah lomba yang hadiahnya ticket Jakarta-Hongkong pp. Tak pernah terbersit di hatiku bakal memenangkan ticket itu. Lha, menulis saja aku baru belajar. Punya karya bagus juga enggak, kok berkhayal ingin menang. Tapi itulah, bukan Ade namanya kalau nggak berandai-andai. Walaupun belum tentu terwujudkan, yang penting hati senang. Akhirnya kami segera mendaftar umroh dan melengkapi persyaratannya untuk kepergian tanggal 5 s/d 14 Juli 2011.
Tak ada firasat apapun ketika akhirnya pengumuman lomba tiba. Ternyata karanganku memenangkan hadiah ticket Jakarta-Hongkong pp untuk 2 orang. Pemberi hadiah pun bersedia menguruskan Tour Hongkong pada periode 20 Juli atau 25 Juli dengan syarat jumlah peserta tour minimal 15 orang. Wah, bagaimana aku mau bersorak kegirangan? Hadiahnya hanya ticket, sementara biaya penginapan dan akomodasi lainnya ditanggung pemenang! Jujur saja, keinginan untuk berangkat ke Hongkong begitu kuat. Duh.. duh.. bagaimana ini? Kan tabungan yang ada baru kami kuras untuk biaya umroh kami ber-enam. Lagipula tanggal segitu kami baru pulang umroh, pasti belum habis capeknya *capek badan dan capek kantong pastinya hehehe, masak harus berangkat lagi? "Mudah-mudahan tour Hongkongnya bisa diundur," doaku menjelang berangkat umroh. Paling tidak kami bisa mengumpulkan energi baru dan bekal baru. Wish me luck... *haiyah, iklan rokok dipakai!
Betul saja, pulang dari tanah suci doaku terkabul. Agen perjalanan tour ke Hongkong menelpon, “Pak Epi, paket tour untuk bulan Juli dibatalkan karena pesertanya kurang dari 15 orang. Ada juga program tour untuk tanggal 27 Agustus, bagaimana Pak?”
Hah, tanggal 27 Agustus 2011? Itu kan menjelang lebaran. Terbayang harga tiket pesawat yang harus kami keluarkan untuk perjalanan Balikpapan-Jakarta pp sebelum dan sesudah berangkat ke Hongkong pasti sedang melonjak tinggi-tinggi sekali... Untuk dua orang saja bisa habis banyak. Tak mungkin pula aku hanya berdua dengan suami bersenang-senang di negeri orang pada hari raya Idul Fitri tanpa anak-anakku. Kalaupun kami memaksa berangkat semua, yah... ini sih bukan hadiah, tapi pemborosan! Sepertinya kurang bijaksana deh kalau harus menguras tabungan anak-anakku hanya untuk jalan-jalan ini. Akhirnya dengan berat hati (dan berat di ongkos terutama, hiks) kami memutuskan untuk membatalkan rencana kepergian kami. Apalagi batas ticket gratis Jakarta-Hongkong itu hanya berlaku sampai 31 Agustus 2011. Mungkin ini memang bukan rejeki kami. Ya sudahlah... Senjata pamungkasku : lagi-lagi aku berdoa, menghibur diri dan mengkhayal, “Semoga di lain waktu kami punya kesempatan jalan-jalan gratis ke luar negeri.” *euleuh-euleuh.. meni keukeuh pengen ka luar nagrek.
Hari itu, kami sampaikan putusan kami pada agen perjalanan di Jakarta lewat telepon, Bu Rani namanya. Diawali basa-basi, akhirnya suamiku menyampaikan ketidakmampuan kami untuk mengikuti tour Hongkong periode 27 Agustus 2011 dengan berbagai alasan. Dengan berat hati kami lepaskan hadiah ticket gratis tersebut *hiks... kapan lagi bisa dapat ticket gratis? huhuhuhu... nangis bombay deh... whuaaaa..
Mau tahu jawaban Bu Rani mendengar penjelasan suamiku? Begini katanya, “Oh ya Pak Epi, kami mengerti. Bagaimana kalau tournya kita undur ke bulan Oktober saja?” Wah, gak salah denger nih? Ticket gratisnya bisa digunakan sampai Oktober? Oh, doaku lagi-lagi terkabul! Tour diundur berarti kesempatan bagi kami untuk berpikir ulang, menabung dan berencana. Atau paling tidak memberi kesempatan padaku untuk berkhayal *halah, angger! Begini nih khayalanku *psstt... jangan tertawa ya! : “Pada saatnya nanti semoga saja ada yang memberi kami rejeki nomplok sehingga kami tak perlu menguras tabungan untuk jalan-jalan ke Hongkong” hihihi..ngarep.com *maunya gratisan melulu. Tolong doakan aku ya teman-teman, wish me luck. Aamiin.
Catatan :
Soal ‘berkhayal’ aku mau nyontek quote-nya Lian ah... : Anda boleh sepakat untuk tidak sepakat, suka-suka deh. Salam....
Bontang, 3 Agustus 2011.
Tulisan ngabuburit sambil menunggu adzan mahgrib di tempat tinggalku yang terletak di tepi hutan tak jauh dari tepi laut.
“Ada apa sih?” tanyaku penasaran.
“Dompet,” katanya singkat.
“Kenapa dompetnya? Hilang?” aku menebak.
“Keliatannya begitu...” jawabnya ragu.
“Coba diingat-ingat, terakhir ditaruh dimana?”
“Disini. Kantung celana luar,” jawabnya
“Lho, biasanya kan Abi kalau naruh dompet di celana pendek bagian dalam. Coba periksa lagi!” saranku.
“Enggak ada!”
Aku berusaha tenang, tapi tak urung keluar juga pertanyaan, “Kartu-kartu ditaruh di dompet semua?”
“Enggak! Kartu ATM dan kartu kredit ada disini,” tunjuknya pada tempat kartu. “Tapi KTP, SIM dan uang ada di dompet,” lanjutnya.
“Telpon ustadz saja! Bisnya kan bis carteran, siapa tahu tertinggal di bis. Tapi kalau jatuh di tempat beli ‘teh susu’ di Jeddah atau justru ketinggalan di penginapan di Singapore, ya sudah.. wasalam,” kataku.
Aku heran, dua kali kami bertandang ke kota Haram, dua kali pula suamiku mengalami hal serupa. Tujuh tahun yang lalu ketika kami menunaikan ibadah haji, baru hari ketiga tinggal di Mekkah, tas berisi paspor, dompet dan surat-surat penting suamiku tertinggal di 'Hijr Ismail' seusai kami melakukan tawaf dan shalat sunnah. Kejadiannya pun sama, di dini hari menjelang shalat subuh. Semua uang bekal rupiah dan living cost riyal suamiku ada di tas itu. Pucat pasi kami melapor kepada askar penjaga. Kami dibawa ke sisi kanan 'Hijr Ismail'. Di atas tembok pojok itu tergeletak beberapa tas yang tak bertuan, tapi tak ada satupun tas berlambang bendera Indonesia milik suamiku.
Akhirnya kami dibawa ke kantor tempat penampungan tas-tas paspor yang tertinggal pemiliknya. Letak kantornya di sisi luar masjidil Haram, dekat daerah Safa. Di kantor itu ada rak kotak-kotak seperti tempat menaruh sandal yang isinya berbagai macam tas paspor dari berbagai negara. Lagi-lagi tak ada tas kepunyaan suamiku. Penjaga kantor hanya bisa prihatin atas keadaan kami, sementara Askar menyarankan kami untuk shalat subuh dan memohon pada Allah karena adzan mulai berkumandang. “Selesai shalat barang anda akan kembali, insyaallah,” hiburnya.
Hilang sudah kesempatan untuk shalat tahajud di Masjidil Haram sepertiga malam itu akibat keteledoran kami. Perjalanan masih panjang, masih sebulan kami akan berada di sini, sementara uang yang tersisa hanya kepunyaanku saja. Insyaallah cukup sih untuk membayar Dam dan sekedar makan. Kartu ATM? Wah, pada masa itu kami belum menggunakan kartu ATM. Ada kartu kredit Citibank, tapi menurut pengalaman beberapa teman, jarang ada toko yang menerima pembayaran dengan kartu kredit pada saat itu. Dengan lunglai dan hati pasrah kami melaksanakan shalat subuh. Suamiku tak henti-hentinya berdoa, memohon kebaikan bagi kami.
Tak dinyana, selepas shalat subuh HP kami berbunyi tanda sms masuk. “Mas Epi, tas paspornya ada di kami,” bunyi sms dari seorang teman satu rombongan. Sms singkat yang membuat kami melonjak, menebarkan semangat baru dan kegembiraan yang luar biasa. Alhamdulillah, tak terkira senangnya hati kami! Siapa yang menyangka teman kami itu shalat tepat di belakang kami tadi, sehingga ketika melihat tas yang ditinggal suamiku, dia segera menyelamatkannya. Sebuah keberuntungan yang nyata!
Nah, kalau sekarang kejadian kehilangan terulang lagi, akankah keberuntungan pun terjadi? Wallahu alam. Ini kota suci. Kami percaya pertolongan Allah. Yang pertama harus kami lakukan tentu saja melapor pada ustadz pembimbing untuk mencoba menghubungi supir bis dan mencari tahu adakah dompet tersebut tertinggal di bis? Tentu saja kami berharap keberuntungan berpihak pada kami. Walau uang di dompet yang hilang tak sebanyak dulu, tapi malas betul membayangkan kami harus mengurus ulang pembuatan KTP, SIM dan lain-lain di tanah air nanti. Siang itu menjelang city tour di kota Madinah, Ustadz Pembimbing datang membawa sebuah dompet berisi KTP, SIM dan uang milik suamiku. Wow, betapa beruntungnya kami! Untuk kedua kalinya hal ini terjadi, barang kami kembali dengan utuh. *tapi kami berharap tak akan ada lagi kejadian kehilangan “part tiga” di kemudian hari. Wew, ogah dah!
Bicara soal keberuntungan, pernahkah terlintas di pikiranmu untuk mengkhayal sesuatu yang muskil dengan berandai-andai? *Seperti lagunya Opi Andaresta itu lho.. Nggak pernah? Wah, anda termasuk orang yang merugi! Mengkhayal itu gratis lho, dan tentu saja membuat hati senang. Nggak percaya? Ini kisahku. Sebulan sebelum memutuskan untuk pergi umroh, aku dan suami berandai-andai. Ini bermula dari percakapan soal teman-teman kerja suami yang mulai menikmati dinas ke luar negeri. Terbersit di hati, kapan ya suamiku juga bisa dinas ke luar negeri, kan gratis. Terus aku bisa ikut mendampinginya. Aih.. mengkhayal. Aku tahu siapa suamiku, apa jabatannya. Sebagai pegawai biasa sepertinya nggak mungkin deh impian yang ini terjadi. Bagai pungguk merindukan bulan. Untuk itulah kami berandai-andai *idiiihh... dasar pengkhayal!
“Ya sudah, kita pergi umroh saja yuk! Kan keluar negeri juga. Berpahala lagi,” usul suami.
“Ide bagus tuh! Paspornya berlaku 5 tahun, tapi kalau cuma buat sekali pergi, kan sayang.”
“Yah, siapa tahu karangan Umi yang ikut lomba di PWP itu menang, kan bisa ke Hongkong kita.”
“Iya ya.. siapa tahu menang. Ya pergi umroh, ya pergi jalan-jalan ke Hongkong. Wuih.. asyik banget! Hihihi, mengkhayal boleh kan? Tapi kalau beneran menang dan taunya saat itu kita lagi umroh, bagaimana?”
“Enggak apa-apa, kita minta ke Panitia supaya tiketnya bisa diundur. Habis umroh, baru kita ke Hongkong”
Whuah... dua orang pengkhayal yang bercakap-cakap seolah-olah hal itu memang bakal terjadi. Seandainya orang lain mendengar pasti menganggap kami ‘aneh’ hehehe. Tahukah teman, percakapan ini kami lakukan di awal bulan Mei, beberapa hari setelah aku mengirim naskah lomba yang hadiahnya ticket Jakarta-Hongkong pp. Tak pernah terbersit di hatiku bakal memenangkan ticket itu. Lha, menulis saja aku baru belajar. Punya karya bagus juga enggak, kok berkhayal ingin menang. Tapi itulah, bukan Ade namanya kalau nggak berandai-andai. Walaupun belum tentu terwujudkan, yang penting hati senang. Akhirnya kami segera mendaftar umroh dan melengkapi persyaratannya untuk kepergian tanggal 5 s/d 14 Juli 2011.
Tak ada firasat apapun ketika akhirnya pengumuman lomba tiba. Ternyata karanganku memenangkan hadiah ticket Jakarta-Hongkong pp untuk 2 orang. Pemberi hadiah pun bersedia menguruskan Tour Hongkong pada periode 20 Juli atau 25 Juli dengan syarat jumlah peserta tour minimal 15 orang. Wah, bagaimana aku mau bersorak kegirangan? Hadiahnya hanya ticket, sementara biaya penginapan dan akomodasi lainnya ditanggung pemenang! Jujur saja, keinginan untuk berangkat ke Hongkong begitu kuat. Duh.. duh.. bagaimana ini? Kan tabungan yang ada baru kami kuras untuk biaya umroh kami ber-enam. Lagipula tanggal segitu kami baru pulang umroh, pasti belum habis capeknya *capek badan dan capek kantong pastinya hehehe, masak harus berangkat lagi? "Mudah-mudahan tour Hongkongnya bisa diundur," doaku menjelang berangkat umroh. Paling tidak kami bisa mengumpulkan energi baru dan bekal baru. Wish me luck... *haiyah, iklan rokok dipakai!
Betul saja, pulang dari tanah suci doaku terkabul. Agen perjalanan tour ke Hongkong menelpon, “Pak Epi, paket tour untuk bulan Juli dibatalkan karena pesertanya kurang dari 15 orang. Ada juga program tour untuk tanggal 27 Agustus, bagaimana Pak?”
Hah, tanggal 27 Agustus 2011? Itu kan menjelang lebaran. Terbayang harga tiket pesawat yang harus kami keluarkan untuk perjalanan Balikpapan-Jakarta pp sebelum dan sesudah berangkat ke Hongkong pasti sedang melonjak tinggi-tinggi sekali... Untuk dua orang saja bisa habis banyak. Tak mungkin pula aku hanya berdua dengan suami bersenang-senang di negeri orang pada hari raya Idul Fitri tanpa anak-anakku. Kalaupun kami memaksa berangkat semua, yah... ini sih bukan hadiah, tapi pemborosan! Sepertinya kurang bijaksana deh kalau harus menguras tabungan anak-anakku hanya untuk jalan-jalan ini. Akhirnya dengan berat hati (dan berat di ongkos terutama, hiks) kami memutuskan untuk membatalkan rencana kepergian kami. Apalagi batas ticket gratis Jakarta-Hongkong itu hanya berlaku sampai 31 Agustus 2011. Mungkin ini memang bukan rejeki kami. Ya sudahlah... Senjata pamungkasku : lagi-lagi aku berdoa, menghibur diri dan mengkhayal, “Semoga di lain waktu kami punya kesempatan jalan-jalan gratis ke luar negeri.” *euleuh-euleuh.. meni keukeuh pengen ka luar nagrek.
Hari itu, kami sampaikan putusan kami pada agen perjalanan di Jakarta lewat telepon, Bu Rani namanya. Diawali basa-basi, akhirnya suamiku menyampaikan ketidakmampuan kami untuk mengikuti tour Hongkong periode 27 Agustus 2011 dengan berbagai alasan. Dengan berat hati kami lepaskan hadiah ticket gratis tersebut *hiks... kapan lagi bisa dapat ticket gratis? huhuhuhu... nangis bombay deh... whuaaaa..
Mau tahu jawaban Bu Rani mendengar penjelasan suamiku? Begini katanya, “Oh ya Pak Epi, kami mengerti. Bagaimana kalau tournya kita undur ke bulan Oktober saja?” Wah, gak salah denger nih? Ticket gratisnya bisa digunakan sampai Oktober? Oh, doaku lagi-lagi terkabul! Tour diundur berarti kesempatan bagi kami untuk berpikir ulang, menabung dan berencana. Atau paling tidak memberi kesempatan padaku untuk berkhayal *halah, angger! Begini nih khayalanku *psstt... jangan tertawa ya! : “Pada saatnya nanti semoga saja ada yang memberi kami rejeki nomplok sehingga kami tak perlu menguras tabungan untuk jalan-jalan ke Hongkong” hihihi..ngarep.com *maunya gratisan melulu. Tolong doakan aku ya teman-teman, wish me luck. Aamiin.
Catatan :
Soal ‘berkhayal’ aku mau nyontek quote-nya Lian ah... : Anda boleh sepakat untuk tidak sepakat, suka-suka deh. Salam....
Bontang, 3 Agustus 2011.
Tulisan ngabuburit sambil menunggu adzan mahgrib di tempat tinggalku yang terletak di tepi hutan tak jauh dari tepi laut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar