Hidup tak musti hebat. Sederhana pun bisa berarti ...

Kamis, 21 Juli 2011

Yang Tak Terduga

Oleh : Ade SM


“Huh, pembual!” gerutu Ita.
“Siapa?” tanyaku hati-hati.
“Lihat saja!” sahutnya sambil menyorongkan layar laptop ke hadapanku. Aku mengernyitkan dahi tak mengerti, sampai mataku tertumbuk pada sebuah status facebook: “Kepiting saus asam manis buat keluargaku tercinta, hm... yummy!”

Sekilas tak ada yang aneh, tapi setelah kulihat siapa pemilik status itu, senyumku tertahan.

“Wah, makan enak dong hari ini!” celetukku.
“Makan enak dari Hongkong!” sahutnya sengit.
“Yeee, kali aja hari ini mamamu benar-benar masak kepiting saus asam manis. Kan enak tuh! Jangan lupa bagi-bagi ya sama sahabatmu ini,” pesanku.
“Yaela Ra, kayak yang nggak kenal mamaku aja. Status sih oke punya. Kenyataannya? Weeek!!” sahut Ita, gadis cantik sahabatku itu. Mendung mulai menyapu wajahnya. Antara marah, sebal, kecewa campur aduk jadi satu. Kalau sudah begini, akulah yang jadi tumpahan uneg-unegnya.


Mama Ita yang selalu menjadi pusat perhatian, itu yang kutangkap dari tulisan di wallnya. Setiap hari ia tak pernah absen menulis status. Facebooknya selalu penuh dengan komentar orang yang memujinya. Seperti Ita, ia cantik! Hobinya memasak, olahraga dan berkebun. Masakannya enak, pakaiannya pun selalu modis. Bisnis catering dan butiknya berkibar. Benar-benar ibu masa kini deh. Semua dia pajang habis-habisan di wallnya, mengundang decak kagum yang melihat, termasuk aku. Pasti menyenangkan punya mama secantik dan sehebat mama Ita ya? Alangkah beruntungnya Ita, pikirku, jauh hari sebelum aku akrab dengannya. Ita yang lembut yang selalu bermuram durja.

“Ada apa Ita?” Tanyaku suatu hari, menawarkannya untuk berbagi. Wajah cantik itu memandangku penuh selidik, seakan menimbang-nimbang patutkah rahasianya pindah kepadaku. Hehehe... Ita.. Ita... biar aku masih remaja, aku pandai menyimpan rahasia. Aku akan selalu menjaga kepercayaan yang engkau berikan seperti pesan ibuku.

Akhirnya, mengalirlah semua cerita itu. Cerita tentang kebohongan-kebohongan mamanya. Uh, hampir aku tak percaya. Masa sih ada ibu seperti itu? Tapi aku menyaksikan sendiri. Ibarat ‘Tong kosong nyaring bunyinya’, mama Ita lebih banyak menghabiskan waktu dengan facebooknya dan menciptakan status yang menggiring orang untuk mengaguminya. Terkadang apa yang ditulis tak sesuai dengan kenyataan. Mulanya Ita tak peduli, tapi lama-lama ia risih melihat begitu banyak orang memuji mamanya berlebihan.

Aku dapat merasakan kekesalan Ita setelah tahu yang sebenarnya. Kalau sudah begini, aku hanya dapat menghibur Ita untuk bersabar. Mungkin ini hanya kesenangan mamanya sesaat, kan bangga dong, bila tak dipandang sebelah mata oleh teman-teman facebooknya.

Jika kubandingkan dengan ibuku, wah... ibuku tidak tertarik pada facebook. Setiap kali aku bercerita tentang facebook, ibu hanya tersenyum. Sampai aku setengah memaksa agar ibu membuat account. Mulanya sih ibu enggan, tapi akhirnya ibu mulai menikmati jejaring sosial ini. Apalagi setelah ayah membeli notebook keluaran terbaru, cihuy... ibuku enggak gaptek lagi!

Menyenangkan bisa bercerita tentang sesuatu yang sama-sama kami sukai. Saling membalas comment, mencari hal baru bersama lewat jejaring ini. Tuh kan, siapa bilang facebook punya pengaruh buruk? Itu kan tergantung bagaimana kita menyikapi keberadaannya. Lagipula ibuku tidak terlalu hanyut. Kegiatan rumah lebih menyita waktunya. Aku bersyukur punya ibu yang lebih mementingkan urusan rumah dan keluarga. Kalau ibuku sampai seperti mama Ita, ih... amit-amit deh!

Hari ini aku pulang sekolah lebih cepat, ada rapat Guru. Aku bergegas menuju rumah. Cuaca terik membuatku berkeringat dan kehausan. Ingin rasanya meneguk segelas air dingin dari kulkas. Kudorong pintu depan yang tidak terkunci.

“Assalamulaikuuummm...!” teriakku. Tak terdengar jawaban. Dimana ibuku? Tidak biasanya pintu rumah tak terkunci kalau ibu pergi. Kucari di dapur, ibu tidak ada. Di belakangpun tak kutemui sosoknya. Lupa niatku untuk meneguk segelas air, aku menuju kamar ibu, pintunya tidak terkunci. Tumben ibuku teledor begini, kemana sih ibu?

Di kamarnya, layar laptop masih menyala. Dua buah tanda merah menyala, artinya ibuku sedang chatting saat meninggalkan kamar. Wah, kemajuan nih! Biasanya ibu tak pernah menyalakan jendela chat-nya. Dengan siapa sih ibu ngobrol?
“Rani, tolong aku! Anakku jatuh dari sepeda. Betadine di kotak P3Kku habis.”
“Ok, aku ada persediaan, kubawa kesana segera. Tunggu ya!”

Oh, pantas saja ibu tergesa-gesa meninggalkan rumah, ternyata anak Tante Ina perlu pertolongannya. Terus siapa nih chatingan satunya? Profile picture-nya seorang balita, namanya Dian. Mungkinkah ini Tante Dian teman SMA ibu yang kami jumpai tahun lalu? Wah, kalau Tante yang itu aku suka banget. Orangnya ramah dan senang bercerita. Terbayang pertemuan kami di reuni sekolah ibu, sebentar saja kami bisa akrab. Ah, kenapa tidak kusapa saja Tante Dian? Akan kuberitahu padanya bahwa ibu sedang ke rumah tetangga. Penuh semangat kubuka jendela percakapan yang ibu tinggal.

“Apa kbr Rani?”
“Baik, lagi kerja kok online?”
“Suntuk nih, masak apa Rani sayang?”
“Genit! Aku masak sayur asem.”
“Segar bgt. Membayangkan andai aq yg km tunggu makan siang di rmhmu...”
“Pssstt.. jgn bgtu Di!”
“Terganggu?”
“Ng... "
“Knp ya kita tdk berjodoh?”
“Tdk usah bicara takdir!”
“Sampai saat ini aq msh mencintaimu, Ran.”
“Cinta lagi...”
“Dan aku tetap menunggumu. Km tahu itu.”
“Bicara yg lain aja deh...”
“Knp? Firasatku mengatakan km pun msh mencintaiku.”
“Please Di...”
“Ingat wkt reuni? Aq tahu, betapapun km menyembunyikannya, km msh menyimpan rindu yg sama bkn?”
“Cukup, Di! Jgn buat hatiku gelisah!”
“Berarti tepat dugaanku kan?”

Ah, ini jelas bukan Tante Dian, lalu siapa? Susah payah aku mengingat teman-teman ibu satu persatu. Kuklik album foto reuni mereka, teringat lelaki gagah yang selalu mencuri pandang pada ibuku, Om Ardian! Apakah cinta lama mereka bersemi kembali? Ah, paling Om Ardian saja yang kegenitan. Ibu tak mungkin menghianati cinta ayah, hiburku dalam hati. Tapi rasa penasaran menggiring jemariku meng-klik percakapan ibu dan Om Ardian yang belum terhapus. Meski kubaca dengan cepat, aku bisa merasakan kalau ibuku sedang jatuh cinta.

“Iraaa!! Apa yang kaulakukan?!” suara ibu tiba-tiba di balik punggungku, terdengar gugup dan agak bergetar. Kuberanikan diri mengalihkan pandanganku dari layar laptop menuju wajah ibu yang pucat pasi. Aku memandang tajam padanya tanpa kata, tapi kuyakin raut wajahku penuh tanya, benarkah? Sejak kapan? Mengapa? Berharap ada penjelasan darinya. Tapi ibuku hanya diam. Bening matanya yang justru bercerita, tragedi CLBK ini benar-benar menimpa ibuku. Aku sungguh tertohok. Ibuku, orang yang paling kupercaya di dunia... Mengapa harus ibu? Dunia serasa runtuh menimpaku. Kini, siapakah yang lebih beruntung, aku atau Ita? Tidak keduanya. Ibu telah meruntuhkan rasa percaya ini. Aku benci!





Cerpen keduaku yg dimuat di Koran Kaltim Pos, edisi 10 Juli 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar