“...mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yg
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah..." (QS. Ali Imron : 97)
Perkemahan Haji di Mina, pada musim haji Januari 2004.
Pagi masih menyisakan dingin yang menggigit. Di dalam tenda perkemahan haji Indonesia di Mina itu kami melepas penat setelah semalam mabit di Muzdalifah. Sambil membereskan tas bawaanku, mataku bersitatap dengan mata perempuan itu. Perempuan tua yang duduk mematung di sudut kemah. Pikirannya seperti mengembara entah kemana. Aku trenyuh. Kuhampiri dia.
“Ibu capek ya?” sapaku memecah kesunyian. Ia hanya tersenyum.
“Anakku kemana?” tanyanya.
“Mungkin sedang mengambil sarapan Bu,” jawabku sekedar menerka. Kupijat kaki ibu yang sedang selonjor itu. Ia tersenyum senang. Aku jadi membayangkan ibuku yang tahun lalu pergi haji. Ah, betapa bodohnya aku membiarkan ibu menunaikan ibadah haji sendiri, walaupun kutitipkan pada sebuah KBIH.
Melihat lautan manusia yang begitu banyaknya saat ini ketika aku dan suami menunaikan ibadah haji, baru kusadari betapa riskannya membiarkan ibuku pergi sendiri. Siapa yang menemani ibu ketika lelah, siapa yang memijatnya, melindunginya? Ya Allah, maafkan hambaMu ini.
Karena membayangkan ibuku itulah, maka aku berusaha memperlakukan wanita-wanita seusia ibuku dengan santun. Aku ingin membalas keteledoranku tahun lalu dengan berbuat baik pada ibu-ibu tua yang menunaikan ibadah haji bersamaku tahun ini.
Belum lama kami bercakap-cakap, anak laki-laki si ibu datang. Bersama istrinya ia membawakan sarapan untuk ibundanya.
“Makan dulu Bu,” anak lelakinya menawarkan sarapannya. Betapa kasih dan sayangnya ia pada ibunya. Sementara istrinya hanya memandang tanpa ekspresi apa-apa. Kudengar ibu itu mengeluh dan sang anak membujuknya dengan sabar. Ya Allah, aku terharu melihat bakti sang anak lelaki pada bundanya. Aku segera berlalu meninggalkan pemandangan ini. Hatiku serasa terpukul melihat kejadian itu, kembali terbayang ibuku sendirian menjalankan hari-hari hajinya tahun lalu. Andai bisa kuputar ulang waktu.... Aku menghela nafas. Sungguh beruntung akhirnya ibuku bisa menunaikan hajinya dengan selamat dan penuh sukacita sampai kembali ke tanah air, walau tanpa pendamping.
“Ayo kita melempar jumroh sekarang Mi,” ajak suamiku membuyarkan lamunanku tentang ibu. Aku mengangguk sambil menyiapkan butiran-butiran kerikil yang telah kami kumpulkan di Muzdalifah semalam ke dalam kantung kain yang sudah dipersiapkan ibuku jauh-jauh hari sebelum kami berangkat ke tanah suci.
Bergegas kami menuju jumrah Aqobah. Lautan manusia yang begitu banyaknya membuatku semakin merasa bersalah membayangkan ibuku. Aku yang masih cukup kuat saja musti punya tenaga ekstra untuk melakukan ibadah yang satu ini. Terombang ambing lautan manusia yang begitu padatnya, alhamdulillah kami bisa melaluinya dengan selamat.
Aku berbaring di dalam tenda, memejamkan mata sejenak sedikit banyak dapat mengurangi rasa penat. Belum habis lelahku sekembali dari melempar jumroh, sayup kudengar sedikit keributan dan nada kebingungan seseorang.
“Kemana ibu? Mengapa tak kautemani ibu ke kamar mandi?!” suara lelaki itu seperti kukenal.
“Kamar mandi kan dekat,” sahut suara seorang perempuan.
“Tapi sampai sekarang ibu belum kembali,” sahut si lelaki. Ada nada cemas dalam ucapannya. Aku teringat ibu tua yang tadi pagi kuajak ngobrol. Jangan-jangan... Ah, benar saja. Ibu tua tak kembali ke perkemahan sedari waktu Dhzuhur tadi.
“Lebih baik kita cari saja di sekitar sini. Ayo kita berpencar,” ketua regu memberi saran dan intruksi. Akhirnya kami berpencar ke segala penjuru makhtab untuk mencari ibu tua yang tadi pagi kuajak ngobrol itu. Aku masih ingat wajahnya.
Sepanjang pencarian aku berdoa untuk keselamatan ibu tersebut. Sudah 3 x aku keliling ke tempat yang sama dari ujung ke ujung komplek perkemahan, tapi sosok ibu itu tak kutemukan juga. Begitupun teman-teman yang lain tak berhasil menemukan ibu tua. Akhirnya kami pasrah dan kembali berkumpul di tenda.
Kulihat lelaki itu menangis. Bisa kubayangkan betapa merasa bersalahnya ia membiarkan ibunya pergi sendiri. Di luar, senja mulai temaram. Adzan Mahgrib berkumandang. Perlahan malampun kian gelap. Ibu tua belum kembali. Tak bisa kubayangkan bagaimana ibu itu melalui malamnya saat ini. Hawa dingin menusuk tulang. Semoga saja ada orang yang berbaik hati menampungnya dan meminjamkannya selimut.
Keesokan harinya, belum ada tanda-tanda si ibu kembali. Anak lelaki si ibu dan istrinya tak bisa tidur semalaman, mereka tak bosannya berkeliling sambil berharap bertemu sang ibu. Pagi-pagi sekali mereka sudah meninggalkan tenda untuk kembali mencari ibunya.
Aku dan suami masih menikmati sarapan kami ketika seseorang menuntun perempuan tua yang kedinginan itu di pintu tenda. Masyaallah, itu ibu yang kami cari. Segera kami menuntun dan membawanya ke tempat istirahatnya. Wajahnya kelihatan bingung dan kelelahan. Kami segera mencari obat gosok dan berusaha memberinya kehangatan. Salah satu teman kami memijat pundaknya, sementara yang lain menyelimuti tubuhnya dan memijat kakinya. Yang lain bergegas mencari sang anak untuk mengabarkan bahwa ibunya sudah kembali.
Tergopoh-gopoh sang anak menghampiri bundanya, memeluk dan menciumnya sambil menangis. Ibu tua hanya terdiam. Entah apa yang dipikirkannya. Sementara menantu perempuannya duduk dengan wajah lelah tanpa senyum. Tak ada kegembiraan di wajahnya seperti suaminya. Aku heran melihatnya. Kelihatannya ia kesal pada mertuanya itu. Tapi pantaskah hal itu ia perlihatkan di hadapan kami yang notabene bukan keluarganya tapi sangat bergembira melihat si ibu kembali? Aku bergidik ngeri membayangkan bila kelak aku mendapat menantu seperti itu. Haduh, jangan sampai deh. Tapi semua kusimpan saja dalam hati.
Di Mekkah, seusai kami melaksanakan semua syarat dan rukun haji, salah seorang temanku masih merasa heran dengan sikap menantu terhadap mertuanya itu yang juga mengganjal pikiranku. Tanpa sadar kami jadi membahas perilaku tersebut. Aku hanya bisa beristigfar, semoga hal seperti itu tidak menimpa diriku.
“Semestinya, kita memaklumi perasaan sang menantu,” tiba-tiba salah seorang temanku menukas pembicaraan kami.
“Alasannya?” tanya kami serempak.
“Ibu tua itu sebenarnya sudah agak pikun. Dia tidak ingin pergi haji, anak lelakinya yang mengajaknya untuk menunaikan rukun haji ini. Maksud anaknya sih baik, tapi dia tidak menyadari kondisi ibunya. Namanya mulai pikun, ya ibadahnya jadi sering salah-salah. Kelihatan dari perilakunya sehari-hari. Selama kami satu kamar dengan ibu itu, banyak hal yang terjadi. Menantunya selalu mengingatkannya untuk shalat, bedzikir ataupun membaca Al-Qur’an daripada duduk termenung, tapi ibu itu sering membantah. Nanti kalau anak lelakinya datang menengok, si ibu mengeluh ini itu, seakan-akan ia tak diurusi oleh menantunya. Kasihan deh menantunya itu. Ada-ada saja alasan ibu tua itu untuk menolak ajakan baik menantunya. Aku nggak heran kalau pada puncaknya menantunya jadi sangat kesal,” ujar temanku.
Kami saling memandang tak percaya, mencoba mengerti perasaan sang menantu diperlakukan seperti itu oleh ibu mertuanya. Begitulah kenyataan yang ada. Ketika hidayah datang pada sang anak lelaki, ia menyadari bahwa menunaikan rukun Islam yang kelima adalah wajib bagi mereka yang mampu. Ia merasa mampu membiayai kepergian ibundanya ke tanah suci. Tapi ia lupa, selain mampu dalam harta, seorang yang ingin menunaikan ibadah haji harus mampu juga secara fisik dan pengetahuan mengenai ibadah yang akan dilaksanakan.
Sesungguhnya betapa menyenangkan perjalanan ke tanah suci dalam kondisi sehat, muda dan kuat. Insyaallah segalanya dimudahkan. Jikalau dirimu telah diberi kecukupan rezeki untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, tunggu apa lagi? Mumpung masih muda dan masih punya kesempatan, jangan pernah menunda-nunda untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima ini.
Bontang, 15 November 2010.
*Tulisanku ini dimuat di kolom "Goresan" Majalah LNG BADAK edisi September-Oktober 2011
Perkemahan Haji di Mina, pada musim haji Januari 2004.
Pagi masih menyisakan dingin yang menggigit. Di dalam tenda perkemahan haji Indonesia di Mina itu kami melepas penat setelah semalam mabit di Muzdalifah. Sambil membereskan tas bawaanku, mataku bersitatap dengan mata perempuan itu. Perempuan tua yang duduk mematung di sudut kemah. Pikirannya seperti mengembara entah kemana. Aku trenyuh. Kuhampiri dia.
“Ibu capek ya?” sapaku memecah kesunyian. Ia hanya tersenyum.
“Anakku kemana?” tanyanya.
“Mungkin sedang mengambil sarapan Bu,” jawabku sekedar menerka. Kupijat kaki ibu yang sedang selonjor itu. Ia tersenyum senang. Aku jadi membayangkan ibuku yang tahun lalu pergi haji. Ah, betapa bodohnya aku membiarkan ibu menunaikan ibadah haji sendiri, walaupun kutitipkan pada sebuah KBIH.
Melihat lautan manusia yang begitu banyaknya saat ini ketika aku dan suami menunaikan ibadah haji, baru kusadari betapa riskannya membiarkan ibuku pergi sendiri. Siapa yang menemani ibu ketika lelah, siapa yang memijatnya, melindunginya? Ya Allah, maafkan hambaMu ini.
Karena membayangkan ibuku itulah, maka aku berusaha memperlakukan wanita-wanita seusia ibuku dengan santun. Aku ingin membalas keteledoranku tahun lalu dengan berbuat baik pada ibu-ibu tua yang menunaikan ibadah haji bersamaku tahun ini.
Belum lama kami bercakap-cakap, anak laki-laki si ibu datang. Bersama istrinya ia membawakan sarapan untuk ibundanya.
“Makan dulu Bu,” anak lelakinya menawarkan sarapannya. Betapa kasih dan sayangnya ia pada ibunya. Sementara istrinya hanya memandang tanpa ekspresi apa-apa. Kudengar ibu itu mengeluh dan sang anak membujuknya dengan sabar. Ya Allah, aku terharu melihat bakti sang anak lelaki pada bundanya. Aku segera berlalu meninggalkan pemandangan ini. Hatiku serasa terpukul melihat kejadian itu, kembali terbayang ibuku sendirian menjalankan hari-hari hajinya tahun lalu. Andai bisa kuputar ulang waktu.... Aku menghela nafas. Sungguh beruntung akhirnya ibuku bisa menunaikan hajinya dengan selamat dan penuh sukacita sampai kembali ke tanah air, walau tanpa pendamping.
“Ayo kita melempar jumroh sekarang Mi,” ajak suamiku membuyarkan lamunanku tentang ibu. Aku mengangguk sambil menyiapkan butiran-butiran kerikil yang telah kami kumpulkan di Muzdalifah semalam ke dalam kantung kain yang sudah dipersiapkan ibuku jauh-jauh hari sebelum kami berangkat ke tanah suci.
Bergegas kami menuju jumrah Aqobah. Lautan manusia yang begitu banyaknya membuatku semakin merasa bersalah membayangkan ibuku. Aku yang masih cukup kuat saja musti punya tenaga ekstra untuk melakukan ibadah yang satu ini. Terombang ambing lautan manusia yang begitu padatnya, alhamdulillah kami bisa melaluinya dengan selamat.
Aku berbaring di dalam tenda, memejamkan mata sejenak sedikit banyak dapat mengurangi rasa penat. Belum habis lelahku sekembali dari melempar jumroh, sayup kudengar sedikit keributan dan nada kebingungan seseorang.
“Kemana ibu? Mengapa tak kautemani ibu ke kamar mandi?!” suara lelaki itu seperti kukenal.
“Kamar mandi kan dekat,” sahut suara seorang perempuan.
“Tapi sampai sekarang ibu belum kembali,” sahut si lelaki. Ada nada cemas dalam ucapannya. Aku teringat ibu tua yang tadi pagi kuajak ngobrol. Jangan-jangan... Ah, benar saja. Ibu tua tak kembali ke perkemahan sedari waktu Dhzuhur tadi.
“Lebih baik kita cari saja di sekitar sini. Ayo kita berpencar,” ketua regu memberi saran dan intruksi. Akhirnya kami berpencar ke segala penjuru makhtab untuk mencari ibu tua yang tadi pagi kuajak ngobrol itu. Aku masih ingat wajahnya.
Sepanjang pencarian aku berdoa untuk keselamatan ibu tersebut. Sudah 3 x aku keliling ke tempat yang sama dari ujung ke ujung komplek perkemahan, tapi sosok ibu itu tak kutemukan juga. Begitupun teman-teman yang lain tak berhasil menemukan ibu tua. Akhirnya kami pasrah dan kembali berkumpul di tenda.
Kulihat lelaki itu menangis. Bisa kubayangkan betapa merasa bersalahnya ia membiarkan ibunya pergi sendiri. Di luar, senja mulai temaram. Adzan Mahgrib berkumandang. Perlahan malampun kian gelap. Ibu tua belum kembali. Tak bisa kubayangkan bagaimana ibu itu melalui malamnya saat ini. Hawa dingin menusuk tulang. Semoga saja ada orang yang berbaik hati menampungnya dan meminjamkannya selimut.
Keesokan harinya, belum ada tanda-tanda si ibu kembali. Anak lelaki si ibu dan istrinya tak bisa tidur semalaman, mereka tak bosannya berkeliling sambil berharap bertemu sang ibu. Pagi-pagi sekali mereka sudah meninggalkan tenda untuk kembali mencari ibunya.
Aku dan suami masih menikmati sarapan kami ketika seseorang menuntun perempuan tua yang kedinginan itu di pintu tenda. Masyaallah, itu ibu yang kami cari. Segera kami menuntun dan membawanya ke tempat istirahatnya. Wajahnya kelihatan bingung dan kelelahan. Kami segera mencari obat gosok dan berusaha memberinya kehangatan. Salah satu teman kami memijat pundaknya, sementara yang lain menyelimuti tubuhnya dan memijat kakinya. Yang lain bergegas mencari sang anak untuk mengabarkan bahwa ibunya sudah kembali.
Tergopoh-gopoh sang anak menghampiri bundanya, memeluk dan menciumnya sambil menangis. Ibu tua hanya terdiam. Entah apa yang dipikirkannya. Sementara menantu perempuannya duduk dengan wajah lelah tanpa senyum. Tak ada kegembiraan di wajahnya seperti suaminya. Aku heran melihatnya. Kelihatannya ia kesal pada mertuanya itu. Tapi pantaskah hal itu ia perlihatkan di hadapan kami yang notabene bukan keluarganya tapi sangat bergembira melihat si ibu kembali? Aku bergidik ngeri membayangkan bila kelak aku mendapat menantu seperti itu. Haduh, jangan sampai deh. Tapi semua kusimpan saja dalam hati.
Di Mekkah, seusai kami melaksanakan semua syarat dan rukun haji, salah seorang temanku masih merasa heran dengan sikap menantu terhadap mertuanya itu yang juga mengganjal pikiranku. Tanpa sadar kami jadi membahas perilaku tersebut. Aku hanya bisa beristigfar, semoga hal seperti itu tidak menimpa diriku.
“Semestinya, kita memaklumi perasaan sang menantu,” tiba-tiba salah seorang temanku menukas pembicaraan kami.
“Alasannya?” tanya kami serempak.
“Ibu tua itu sebenarnya sudah agak pikun. Dia tidak ingin pergi haji, anak lelakinya yang mengajaknya untuk menunaikan rukun haji ini. Maksud anaknya sih baik, tapi dia tidak menyadari kondisi ibunya. Namanya mulai pikun, ya ibadahnya jadi sering salah-salah. Kelihatan dari perilakunya sehari-hari. Selama kami satu kamar dengan ibu itu, banyak hal yang terjadi. Menantunya selalu mengingatkannya untuk shalat, bedzikir ataupun membaca Al-Qur’an daripada duduk termenung, tapi ibu itu sering membantah. Nanti kalau anak lelakinya datang menengok, si ibu mengeluh ini itu, seakan-akan ia tak diurusi oleh menantunya. Kasihan deh menantunya itu. Ada-ada saja alasan ibu tua itu untuk menolak ajakan baik menantunya. Aku nggak heran kalau pada puncaknya menantunya jadi sangat kesal,” ujar temanku.
Kami saling memandang tak percaya, mencoba mengerti perasaan sang menantu diperlakukan seperti itu oleh ibu mertuanya. Begitulah kenyataan yang ada. Ketika hidayah datang pada sang anak lelaki, ia menyadari bahwa menunaikan rukun Islam yang kelima adalah wajib bagi mereka yang mampu. Ia merasa mampu membiayai kepergian ibundanya ke tanah suci. Tapi ia lupa, selain mampu dalam harta, seorang yang ingin menunaikan ibadah haji harus mampu juga secara fisik dan pengetahuan mengenai ibadah yang akan dilaksanakan.
Sesungguhnya betapa menyenangkan perjalanan ke tanah suci dalam kondisi sehat, muda dan kuat. Insyaallah segalanya dimudahkan. Jikalau dirimu telah diberi kecukupan rezeki untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, tunggu apa lagi? Mumpung masih muda dan masih punya kesempatan, jangan pernah menunda-nunda untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima ini.
Bontang, 15 November 2010.
*Tulisanku ini dimuat di kolom "Goresan" Majalah LNG BADAK edisi September-Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar