Hidup tak musti hebat. Sederhana pun bisa berarti ...

Kamis, 06 Oktober 2011

Ketika Menerima Sebuah Kekalahan


Sedikit berbagi uneg-uneg di hati.

Tepuk tangan membahana ketika puisi perjuangan karya Sapardi Joko Darmono selesai kubaca. Mantap aku menuruni tangga panggung. Beberapa orang yang tak kukenal menyambutku dengan ucapan selamat dan kata-kata pujian. Aku tersanjung dan yakin bakal masuk 10 besar finalis “Lomba Pembacaan Puisi Perjuangan” dalam rangka 50 tahun Indonesia Merdeka *PD amat!



Sambil menanti pengumuman, aku menyimak penampilan peserta-peserta berikutnya. Ada sekitar lima orang lagi. Namun kuperhatikan sambutan penonton tak semeriah yang kurasakan tadi. Aku semakin bersemangat menanti pengumuman. Tapi apa yang kudengar ketika pengumuman dibacakan? Dari 10 nomor peserta dan nama yang disebutkan panitia, tak ada namaku sama sekali. Aku berharap ada kekeliruan. Tapi ternyata tidak. Aku telah gagal. Kecewa? Sangat! Hatiku marah. Aku percaya aku memiliki kemampuan, tapi mengapa tak ada namaku di sana? Lalu untuk apa orang-orang tadi memujiku. Mereka yang sok tau atau panitia yang pilih kasih?

Sejuta tanya dan kecewa berkecamuk di hati *Wedew sejuta?! Banyak amat! Apa iya? Lebay ah. Segala upaya suami untuk menghiburku tak kugubris. Usiaku masih 26 tahun, masih cukup muda dan masih penuh gelora untuk menunjukkan prestasi. Kenapa bisa kalah? Apalagi kuingat salah satu finalis yang terjaring tadi jelas-jelas kudengar dialeknya yang medok. Grrrgghhhh...gk.. *pingin menggeram dan keluarin taring deh...qe..qe..qe..qe..

Perlu waktu sedikitnya 1 x 24 jam untuk meredam amarah dan kecewa. Bahkan kupikir bakal berhari-hari aku tak akan bisa makan memikirkan hal ini, kalau saja sore itu seseorang tak mengetuk pintu rumahku. Masih dengan rasa masygul kubuka pintu rumah kayu dengan tulisan JC-5. (Waktu itu aku tinggal di barrack JC Komplek PT. Badak).

Seuntai senyum manis menghiasi wajah mungil yang menyembul di balik pintu. Luruh amarahku melihatnya. Kusapa dengan sedikit senyum terpaksa, “Mbak Yani, ada apa?”
“Ini, mau nyampaikan undangan. Tolong datang di acara final ‘Pembacaan Puisi’ ya De,” katanya sambil menyerahkan amplop.
“Ta..tapi.. aku kan gak masuk nominasi,” ujarku sedih. Rasanya aku gak bakalan nonton deh. Untuk apa? Aku bakal tambah sakit hati.
“Justru ini pemberitahuan kalau Ade masuk final. Kemarin itu nilainya ada yang sama dengan nilai Ade. Panitia cuma pilih 10 orang karena jatah awalnya kan memang cuma 10. Tapi ada beberapa orang yang nanya kenapa no urut sekian gak masuk padahal bagus. Akhirnya panitia memutuskan untuk mengambil keduanya. Datang ya! Siapa tahu menang,” ujar mbak Yani memberi semangat.

Aku, masuk nominasi? Cihuyyyyyy!!! Joget-joget girang deh. PD-ku kembali muncul. Bener kan aku punya kemampuan? *Halah, sombong. Sisa malam itu kulalui dengan berlatih lagi membaca puisi di depan cermin. Mencari-cari ilustrasi musik yang cocok untuk menggambarkan kepedihan yang menyayat akibat perang. Aku mantap untuk mengikuti lomba esok hari. Tapi, ada pelajaran yang kuambil hari ini. Aku tak boleh ambisius untuk menang. Aku harus berbesar hati jika esok aku kalah. Aku harus bisa menerima kekalahan. Bukankah ada 10 orang lain yang punya penampilan bagus. *beuh.. sedikit mulai bersikap dewasa. Hanya dalam satu hari? Hebat..hihihi...

Pendek kata, aku melakukan tugasku sebaik mungkin. Menghayati puisi yang kubaca, membawakannya sepenuh jiwa. Lalu aku menanti pengumuman dengan lapang dada. Nyaman rasanya. Maka, ketika akhirnya aku mendapat Juara Tiga, aku cukup lega. Ternyata aku bisa.


Itu adalah kisahku 16 thn yg lalu. Kenapa baru kutulis hari ini? Karena aku sedang bersedih temans. Beberapa hari ini aku sangat menanti pengumuman Antologi Cerpen “Kaltim dalam Cerpen Indonesia”, aku ingin bisa sebuku dengan cerpenis & sastrawan Kaltim sekelas Bpk Korrie Layun Rampan *ngimpi kalee. Ngaca dulu gih!

Hari ini, mereka yang cerpennya lolos sudah mendapat kabar dan menyatakan kegembiraannya di fesbuk. Mereka yang lolos adalah penulis-penulis top Kaltim. Mereka yang jam terbangnya dalam dunia menulis sudah tak diragukan lagi. Mereka yang karya-karyanya sudah menghiasi toko buku ternama. Lalu, kok berani benar aku bermimpi! Ah, walaupun aku masih “baby writer” *pinjem istilahnya mbak Dhia Nisa, rasanya aku kecewa berat tak bisa lolos. Aku seperti mengalami kekalahan 16 tahun yang silam. Perasaan yang sama, sedih berkepanjangan bahkan mungkin aku gak akan selera makan *bo’ong ketang!

Bukan aku patah semangat, aku justru menyadari aku masih kurang berlatih. Karyaku masih sedikit. Aku malas menulis. Aku terlalu enggan untuk banyak belajar. Hari ini, meski kecewa berat melanda di hati, aku menerima kekalahan dengan lapang dada. Tanpa emosi yang meledak-ledak seperti 16 tahun yang silam. Hehehe.. ya iyalah. Malu sama anak-anak. Aku kan sudah ‘dewasa’ (baca : tua).


Bontang, 06102011
Di tempat tinggalku yang terletak di tepi hutan, tak jauh dari tepi laut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar