Aku, lahir dan dibesarkan di kota Cimahi puluhan tahun yang lalu.
Kota kecil yang saat itu sawahnya masih menghampar luas di sekeliling
asrama TNI Pusdik Pom tempat kami tinggal. Genta kerbau yang membajak
sawah, panen padi dan juga riuhnya rombongan bebek berbaris rapi masih
terekam indah dalam benakku. Sayang, aku tak pernah menyaksikan lagi
pemandangan seperti itu setelah aku pindah ke Bontang tahun 1989.
Apalagi untuk merasakan sensasi terbenamnya kaki telanjang yang menjejak
ke dalam lumpur sawah sambil memunguti tutut (keong kecil) setiap musim
tanam hampir tiba, tak pernah lagi! Kota pesisir ini hanya menyajikan
pantai, tambak, bukit-bukit dengan hutannya yang mulai menipis.
Bahkan ketika mudik ke Cimahi, napak tilas ke daerah Baros, Pusdik Pom dan sekitarnya, tak kutemui lagi pemandangan itu. Yang ada kini hanyalah jalan tol yang membentang, padatnya lalu-lintas, berderetnya pabrik-pabrik juga gedung-gedung yang meninggi. Hawa dingin segar yang dulu selalu kurasakan, kini berganti dengan udara panas dan berdebu. Jujur saja, aku rindu Cimahiku yang dulu. Rindu pada bukit-bukit utaranya yang menyajikan pemandangan indah. Rindu gemerciknya aliran sungai yang bening mengalir. Rindu hamparan sawahnya yang bagai permadani di kaki langit, rindu rimbun pepohonan dan sejuknya udara yang menyegarkan kulit. Sebatas rindu, yang tak tau musti bermuara kemana. Cimahiku tak lagi seperti dulu.
Dua puluh tahun tinggal di Bontang, aku biasa disuguhkan pemandangan teluknya yang tanpa nyiur melambai. Hanya hutan bakau, kilang LNG dan pupuk, perumahan perusahaan yang teratur rapi dengan jalan-jalannya yang mulus dan bersih. Bahkan kota kecil yang kini berubah menjadi kota madya Bontang pun mulai menampakkan kerapihannya. Kota kecil yang selalu bersih, tak padat lalu-lintasnya walau hampir sebagian besar penduduknya mempunyai kendaraan pribadi. Kota yang berhasil meraih piala Adipura. Di sini, rinduku pada hamparan permadani padi jelas-jelas tak akan pernah terpenuhi yakinku. Yakin? Aih, kalau hanya menyusuri komplek perumahan sampai dengan kota Bontang saja, ya jelas tak ada. Sudah seberapa jengkal sih langkahku menjejak bumi Khatulistiwa? Coba sedikit ke utara, ke barat, ke timur, keluar dari Bontang, keluar dari jalan poros Bontang-Samarinda. Cobalah!
Minggu ini, aku menyusuri jalan menuju Bontang Lestari, sebuah kawasan perkantoran baru kota Bontang yang gedung dan stadionnya berdiri megah. Sayang, tempatnya masih sangat sepi. Cukup jauh dari kota Bontang lam. Kami melintasinya dan kemudian menembus desa-desa di pesisir lewat jalan-jalannya yang sebagian mulai dilapisi semen/concrete, walau sebagian lagi masih berupa tanah becek, membuat mobilku berayun-ayun seperti perahu di atas gelombang. Mulai kebun jagung, kemudian masuk ke jalan pengangkutan batubara lalu menembus desa dengan deretan pohon kelapa. Astaga.. pemandangan yang selama ini kucari, petani yang menjemur padi! Padikah ini? Warnanya kecoklatan, tidak kuning seperti di Cimahi. Tapi ini beneran padi! Tak lama kemudian, amboiiii... ternyata ada hamparan sawah membentang. Ada panen padi, ada genta sapi! Walau udaranya panas khas cuaca khatulistiwa, tapi hamparan hijau itu menyejukan hati. Rinduku serasa terobati. Oh, desa ini ternyata berada di balik bukit yang biasa kami lewati. Ck ck ck ck.., setelah 20 tahun, aku baru menemukannya. Selama ini kupikir di balik bukit hanya ada kebun dan huma, bukan sawah basah, dengan akses jalan yang sulit ditembus kendaraan beroda empat. Ternyata oh ternyata, rindu itu terpenuhi disini, tak terlalu jauh dari tempat tinggalku, di daerah Marang Kayu, tetangga kotaku.
Ini dia sawah yang menghijau, seger deh melihatnya.
Ada sapi di pinggir jalan.
Eh, ada yang menjemur padi juga.
Bahkan ketika mudik ke Cimahi, napak tilas ke daerah Baros, Pusdik Pom dan sekitarnya, tak kutemui lagi pemandangan itu. Yang ada kini hanyalah jalan tol yang membentang, padatnya lalu-lintas, berderetnya pabrik-pabrik juga gedung-gedung yang meninggi. Hawa dingin segar yang dulu selalu kurasakan, kini berganti dengan udara panas dan berdebu. Jujur saja, aku rindu Cimahiku yang dulu. Rindu pada bukit-bukit utaranya yang menyajikan pemandangan indah. Rindu gemerciknya aliran sungai yang bening mengalir. Rindu hamparan sawahnya yang bagai permadani di kaki langit, rindu rimbun pepohonan dan sejuknya udara yang menyegarkan kulit. Sebatas rindu, yang tak tau musti bermuara kemana. Cimahiku tak lagi seperti dulu.
Dua puluh tahun tinggal di Bontang, aku biasa disuguhkan pemandangan teluknya yang tanpa nyiur melambai. Hanya hutan bakau, kilang LNG dan pupuk, perumahan perusahaan yang teratur rapi dengan jalan-jalannya yang mulus dan bersih. Bahkan kota kecil yang kini berubah menjadi kota madya Bontang pun mulai menampakkan kerapihannya. Kota kecil yang selalu bersih, tak padat lalu-lintasnya walau hampir sebagian besar penduduknya mempunyai kendaraan pribadi. Kota yang berhasil meraih piala Adipura. Di sini, rinduku pada hamparan permadani padi jelas-jelas tak akan pernah terpenuhi yakinku. Yakin? Aih, kalau hanya menyusuri komplek perumahan sampai dengan kota Bontang saja, ya jelas tak ada. Sudah seberapa jengkal sih langkahku menjejak bumi Khatulistiwa? Coba sedikit ke utara, ke barat, ke timur, keluar dari Bontang, keluar dari jalan poros Bontang-Samarinda. Cobalah!
Minggu ini, aku menyusuri jalan menuju Bontang Lestari, sebuah kawasan perkantoran baru kota Bontang yang gedung dan stadionnya berdiri megah. Sayang, tempatnya masih sangat sepi. Cukup jauh dari kota Bontang lam. Kami melintasinya dan kemudian menembus desa-desa di pesisir lewat jalan-jalannya yang sebagian mulai dilapisi semen/concrete, walau sebagian lagi masih berupa tanah becek, membuat mobilku berayun-ayun seperti perahu di atas gelombang. Mulai kebun jagung, kemudian masuk ke jalan pengangkutan batubara lalu menembus desa dengan deretan pohon kelapa. Astaga.. pemandangan yang selama ini kucari, petani yang menjemur padi! Padikah ini? Warnanya kecoklatan, tidak kuning seperti di Cimahi. Tapi ini beneran padi! Tak lama kemudian, amboiiii... ternyata ada hamparan sawah membentang. Ada panen padi, ada genta sapi! Walau udaranya panas khas cuaca khatulistiwa, tapi hamparan hijau itu menyejukan hati. Rinduku serasa terobati. Oh, desa ini ternyata berada di balik bukit yang biasa kami lewati. Ck ck ck ck.., setelah 20 tahun, aku baru menemukannya. Selama ini kupikir di balik bukit hanya ada kebun dan huma, bukan sawah basah, dengan akses jalan yang sulit ditembus kendaraan beroda empat. Ternyata oh ternyata, rindu itu terpenuhi disini, tak terlalu jauh dari tempat tinggalku, di daerah Marang Kayu, tetangga kotaku.
Ini dia sawah yang menghijau, seger deh melihatnya.
Ada sapi di pinggir jalan.
Eh, ada yang menjemur padi juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar