Komunitas Menulis KALBU mengadakan audisi menulis, dibimbing oleh cerpenis Shantined Erha. Bahan baku sudah disiapkan oleh Bu Winny Sutopo berupa contoh kasus : KDRT seorang istri terhadap suaminya. Hehehehe, enggak kebalik kah, Bu? Tapi ini beneran contoh kasus: istri yang semena-mena terhadap sang suami.
Kami anggota "Komunitas Menulis KALBU" diminta mengolahnya menjadi karya menarik, entah berupa puisi, cerpen ataupun tulisan non fiksi. Pokoknya terserah deh, bahan sudah ada tinggal sang koki yang berkarya. Diberi waktu selama 2 minggu, dengan hadiah penyemangat berupa uang tunai 300 ribeng yang akan disiapkan mbak Hera.
Seminggu berlalu, tak ada yang berani mem-posting-kan karyanya. Terus terang saja, bang ilham dan kak ide tak juga datang berkunjung, padahal deadline tinggal 6 hari, duh! Tak dinyana, mbak Hera dengan gagahnya menjadi orang pertama yang mem-posting-kan karyanya berjudul "Bedjooo.. Bedjo". Dengan membaca kisahnya, tiba-tiba saja ada ide melintas di benak, cepat-cepat kutulis. Tapi hanya sampai selembar, macet total. Ok, biarkan mengendap sambil membaca karya-karya berikutnya : Diary-nya Teh Wiwin, Tangis Nestapaku Untuk Istriku-nya Lian Dewi Angellia dan Bias Kehidupan-nya Teh Yunita Tulenan. Ternyata membaca menjadikan niat menulis bangkit lagi. Hihihi.. sambil mengomentari tulisan mereka, jadilah karya cerpen berikut ini, eng.. ing.. eng..
Surga, Dimanakah Ia Berada?
Oleh : Ade SM
Sebait lagu menggema dari TK yang terletak di sebelah rumah, “Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia.”
Syair yang indah sebenarnya, sayang aku tak merasakan getaran indahnya makna lagu itu. Sosok yang digambarkan dalam syair itu tak pernah kutemui dalam hidupku. Memang bukan salah sang pengarang bila sosok ibu selalu digambarkan sebagai orang yang penuh kasih di setiap torehan cerita, puisi maupun lagu. Hanya saja tidak setiap anak punya kesempatan yang sama untuk mendapatkan perlakuan bunda seperti itu. Tak percaya? Aku buktinya!
Kuawali pagi tadi dengan mata basah. Hawa dingin menusuk tulang. Hujan selalu akrab menyapa hari di penghujung tahun. Aku terbangun mendengar suara air keran mengalir. Jam di kamarku masih menunjukkan pukul 4 dini hari. Aku tahu, itu suara ayah yang sedang mengambil air wudhu. Sebentar kemudian ia melaksanakan shalat tahajud. Usai shalat sudah bisa dipastikan ayah akan ke dapur, menjerang sepanci air, menyiapkan sarapan dan pernak-perniknya sambil tak lupa membangunkan kami satu-persatu untuk segera melaksanakan shalat subuh setelah adzan berkumandang. Bertahun-tahun hal itu dilakukan, seingatku sejak memori di otakku ini bisa merekam setiap kejadian, ayah telah melakukan hal itu. Tapi aku tahu, sejak semalam kesehatan ayah tidak baik. Aku khawatir sesuatu terjadi padanya. Namun hal itu tak mengurungkan niat ayah untuk melakukan rutinitasnya. Aku segera bangkit dan menghampiri ayah di dapur. Wajahnya pucat, tapi seperti biasanya ia menyambutku dengan senyum.
“Anak ayah sudah bangun,” sapanya.
“Biar Ana yang menyiapkan sarapan, Yah!” pintaku.
“Masmu dibangunkan dulu sana, bentar lagi adzan Subuh,” sahut ayah sambil menuangkan air panas ke dalam gelas-gelas berisi susu bubuk dan gula.
Airmataku mulai merebak teringat kenangan waktu aku kecil. Di tiap malam-malam aku ingin minum segelas susu, tangan kekar ayah selalu siap melayaniku. Membuatkan segelas susu hangat dan menungguiku hingga tegukan terakhir. Kemudian ia menaruh gelas itu di tempat cucian piring lalu kembali untuk meninabobokan aku.
Kalau aku boleh protes, seharusnya lagu itu bukan untuk ibu, tapi untuk ayah. Mungkin kalian berpikir bahwa sejak kecil aku hidup hanya dibesarkan oleh ayahku? Salah besar, teman! Aku punya ibu. Aku juga punya kakak laki-laki. Keluarga kami keluarga yang lengkap. Gambaran utuh suksesnya program KB pemerintah, keluarga kecil yang bahagia.
Bahagiakah kami? Aku tak tahu standard apa yang dipakai untuk mengatakan kami bahagia. Kalau soal materi, ayah memang mempunyai penghasilan yang cukup untuk menghidupi kami sekeluarga. Ayah bekerja di perusahaan BUMN dengan gaji bulanan yang besar. Tapi bahagia tak selalu dinilai dari materi bukan? Ini kusadari ketika aku beranjak remaja. Ada hal timpang yang kurasakan dalam biduk rumah tangga orang tuaku. Ibu begitu mendominasi setiap keputusan. Di mata ibu, ayah tak lebih dari seorang yang harus taat pada setiap perintahnya. Begitu juga kami anak-anaknya.
“Weekend besok kita kemana ya?” cuplikan kenangan ini melintas di benakku. Biasanya ayah akan bertanya seperti itu di setiap kesempatan menjelang Sabtu di awal bulan. Dulu, aku dan Mas Jaka akan berebut mengutarakan keinginan masing-masing. Yang satu ingin ke pantai, yang satu ingin ke hutan. Kami berdua akan berdebat mengenai kelebihan masing-masing tempat, sampai akhirnya ayah memberi solusi. Sayang, semua akan berantakan ketika ibu mencampuri. Tanpa perasaan, ibu biasanya langsung memilih sendiri tempat yang “patut” kami kunjungi, dan biasanya pilihan ibu sangat tidak sesuai dengan keinginan kami. Begitu pula dengan acara makan ataupun yang lainnya. Huh, dengan pengalaman sama yang sering berulang seperti itu akhirnya kami tahu bahwa kami tak punya pilihan di depan ibu. Percuma saja mengajukan saran. Toh ayah tak pernah berkutik bila dihadapkan pada keputusan ibu. Menyebalkan bukan?
Aku sendiri kadang heran, kenapa ayah hanya diam bila ibu memperlakukannya seperti itu. Dulu aku pernah begitu ketakutan melihat ayah dan ibu bertengkar, entah masalah apa. Kedengarannya sih seperti masalah balas budi. Sejak melihat aku memergoki mereka bertengkar dan aku gemetaran seperti itu, ayah nyaris tak pernah membantah perkataan ibu. Ia bungkam seribu bahasa tak menanggapi omelan ibu. Jelas hal itu membuat ibu semakin berang.
“Aku ngomong begini, mbok ya ditanggapi. Apa aku salah menyarankan kebaikan buat kalian semua?! Aku bisa saja tak peduli, tapi apa kata orang nanti?” dan bla bla bla berikutnya yang tak mau aku dengar. Ayahpun mungkin berpikiran demikian, tapi demi amannya ia tak beranjak dari duduknya sampai ibu selesai.
Mas Jaka jadi tak betah berada di rumah karena sering mendengar ibu marah dan ngomel-ngomel tak jelas. Ia lebih sering bermain di rumah sahabatnya. Sedang aku, aku tak tega melihat ayah seperti itu. Akhir-akhir ini sakit maagnya selalu kambuh. Seharusnya ibu mengerti bahwa ayah butuh perhatian ibu.
Apa ibu tak cinta ayah? Mereka menikah karena dijodohkan, itu yang kucuri dengar sewaktu kami di rumah Eyang, orangtua ibu. Ayah bisa seperti ini, bekerja di perusahaan besar dan sukses tak lain karena jasa orangtua ibu. Ayah sangat menjaga perasaan orangtua dan mertuanya hingga ia rela menjalani kehidupan yang penuh tekanan seperti ini. Sementara ibu, sebagai orang yang merasa dirugikan karena harus menikah dengan ayah akhirnya memperlakukan ayah semena-mena. Sudah seminggu ini ibu pergi ke Jakarta bersama teman-temannya. Urusan bisnis atau jalan-jalan, aku tak bisa membedakan. Ibu terlalu sering pergi. Kalau ayah melarang, ibu pasti mencak-mencak merasa dikekang.
Hari beranjak sore dan mendung masih menggantung di langit Balikpapan. Ayah seharusnya menjemput ibu ke bandara Sepinggan, tapi aku melarangnya. Biar Mas Jaka saja yang menjemput ibu. Kondisi ayah kelihatannya makin tak baik. Dari tadi ayah muntah. Aku membujuknya untuk berobat ke dokter langganan kami, tapi ayah bilang nanti saja karena ia sudah minum obat maag-nya. Kutemani ayah yang berbaring di sofa ruang keluarga, wajahnya makin pucat. Untunglah Mas Jaka dan ibu segera tiba. Aku buru-buru melaporkan keadaan ayah pada mereka, tapi apa jawab ibu?
“Makanya, kalau makan itu jangan sembarangan! Sudah tahu pantangannya banyak, masih saja dilanggar. Kalau sudah sakit begini, siapa yang repot?”
Tiba-tiba entah darimana datangnya keberanian itu, aku protes pada sikap ibu “Ibu kok ngomong gitu sih? Ayah kan sakit, kok malah diomeli!”
Ibu berpaling memandangku, matanya menyipit. “Ibu capek, Ana. Coba kalau ngomong yang sopan sedikit!”
“Siapa yang nggak sopan, Bu? Ana cuma bilang kalau Ayah sakit dan tak seharusnya ibu omeli.”
“Kamu mulai berani membantah ya sekarang?” sahut ibu sinis.
Aku tak terima dikatakan seperti itu. Aku meradang. Apa yang kurasakan dan kupendam dalam hati selama ini meluap begitu saja, tentang keherananku pada sikap ibu, tentang segala sikapnya terhadap ayah yang tak pantas di mataku, tentang ah...
Mas Jaka terkejut melihat aku begitu marah, tapi kuyakin dia sependapat denganku. Ayah hanya terbaring tak berdaya. Lalu ibu, wanita itu bangkit dari duduknya. Ia memandang kami bertiga dengan wajah murka, “Kalian.... kalian bersekongkol memusuhiku? Baiklah, aku katakan sekarang yang sesungguhnya. Aku memang menyesal menikah dengan ayah kalian. Aku menyesal membuang-buang waktuku dalam rumah tangga yang tak kukehendaki ini. Aku tak bahagia di rumah ini. Puas?”
Kami bertiga menatap ibu tak percaya, teganya ia berkata seperti itu. Belum sempat kami berkomentar, ibu segera berlalu menuju kamar. Ia terlalu sombong untuk mengakui ketaksempurnaannya sebagai ibu. Tiba-tiba kebencian mengaliri segenap aliran darahku. Aku jadi ragu, benarkah surga berada di telapak kaki ibu?
Bontang, 2 Desember 2011
Di tempat tinggalku yang terletak di tepi hutan tak jauh dari tepi laut.
Kami anggota "Komunitas Menulis KALBU" diminta mengolahnya menjadi karya menarik, entah berupa puisi, cerpen ataupun tulisan non fiksi. Pokoknya terserah deh, bahan sudah ada tinggal sang koki yang berkarya. Diberi waktu selama 2 minggu, dengan hadiah penyemangat berupa uang tunai 300 ribeng yang akan disiapkan mbak Hera.
Seminggu berlalu, tak ada yang berani mem-posting-kan karyanya. Terus terang saja, bang ilham dan kak ide tak juga datang berkunjung, padahal deadline tinggal 6 hari, duh! Tak dinyana, mbak Hera dengan gagahnya menjadi orang pertama yang mem-posting-kan karyanya berjudul "Bedjooo.. Bedjo". Dengan membaca kisahnya, tiba-tiba saja ada ide melintas di benak, cepat-cepat kutulis. Tapi hanya sampai selembar, macet total. Ok, biarkan mengendap sambil membaca karya-karya berikutnya : Diary-nya Teh Wiwin, Tangis Nestapaku Untuk Istriku-nya Lian Dewi Angellia dan Bias Kehidupan-nya Teh Yunita Tulenan. Ternyata membaca menjadikan niat menulis bangkit lagi. Hihihi.. sambil mengomentari tulisan mereka, jadilah karya cerpen berikut ini, eng.. ing.. eng..
Surga, Dimanakah Ia Berada?
Oleh : Ade SM
Sebait lagu menggema dari TK yang terletak di sebelah rumah, “Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia.”
Syair yang indah sebenarnya, sayang aku tak merasakan getaran indahnya makna lagu itu. Sosok yang digambarkan dalam syair itu tak pernah kutemui dalam hidupku. Memang bukan salah sang pengarang bila sosok ibu selalu digambarkan sebagai orang yang penuh kasih di setiap torehan cerita, puisi maupun lagu. Hanya saja tidak setiap anak punya kesempatan yang sama untuk mendapatkan perlakuan bunda seperti itu. Tak percaya? Aku buktinya!
Kuawali pagi tadi dengan mata basah. Hawa dingin menusuk tulang. Hujan selalu akrab menyapa hari di penghujung tahun. Aku terbangun mendengar suara air keran mengalir. Jam di kamarku masih menunjukkan pukul 4 dini hari. Aku tahu, itu suara ayah yang sedang mengambil air wudhu. Sebentar kemudian ia melaksanakan shalat tahajud. Usai shalat sudah bisa dipastikan ayah akan ke dapur, menjerang sepanci air, menyiapkan sarapan dan pernak-perniknya sambil tak lupa membangunkan kami satu-persatu untuk segera melaksanakan shalat subuh setelah adzan berkumandang. Bertahun-tahun hal itu dilakukan, seingatku sejak memori di otakku ini bisa merekam setiap kejadian, ayah telah melakukan hal itu. Tapi aku tahu, sejak semalam kesehatan ayah tidak baik. Aku khawatir sesuatu terjadi padanya. Namun hal itu tak mengurungkan niat ayah untuk melakukan rutinitasnya. Aku segera bangkit dan menghampiri ayah di dapur. Wajahnya pucat, tapi seperti biasanya ia menyambutku dengan senyum.
“Anak ayah sudah bangun,” sapanya.
“Biar Ana yang menyiapkan sarapan, Yah!” pintaku.
“Masmu dibangunkan dulu sana, bentar lagi adzan Subuh,” sahut ayah sambil menuangkan air panas ke dalam gelas-gelas berisi susu bubuk dan gula.
Airmataku mulai merebak teringat kenangan waktu aku kecil. Di tiap malam-malam aku ingin minum segelas susu, tangan kekar ayah selalu siap melayaniku. Membuatkan segelas susu hangat dan menungguiku hingga tegukan terakhir. Kemudian ia menaruh gelas itu di tempat cucian piring lalu kembali untuk meninabobokan aku.
Kalau aku boleh protes, seharusnya lagu itu bukan untuk ibu, tapi untuk ayah. Mungkin kalian berpikir bahwa sejak kecil aku hidup hanya dibesarkan oleh ayahku? Salah besar, teman! Aku punya ibu. Aku juga punya kakak laki-laki. Keluarga kami keluarga yang lengkap. Gambaran utuh suksesnya program KB pemerintah, keluarga kecil yang bahagia.
Bahagiakah kami? Aku tak tahu standard apa yang dipakai untuk mengatakan kami bahagia. Kalau soal materi, ayah memang mempunyai penghasilan yang cukup untuk menghidupi kami sekeluarga. Ayah bekerja di perusahaan BUMN dengan gaji bulanan yang besar. Tapi bahagia tak selalu dinilai dari materi bukan? Ini kusadari ketika aku beranjak remaja. Ada hal timpang yang kurasakan dalam biduk rumah tangga orang tuaku. Ibu begitu mendominasi setiap keputusan. Di mata ibu, ayah tak lebih dari seorang yang harus taat pada setiap perintahnya. Begitu juga kami anak-anaknya.
“Weekend besok kita kemana ya?” cuplikan kenangan ini melintas di benakku. Biasanya ayah akan bertanya seperti itu di setiap kesempatan menjelang Sabtu di awal bulan. Dulu, aku dan Mas Jaka akan berebut mengutarakan keinginan masing-masing. Yang satu ingin ke pantai, yang satu ingin ke hutan. Kami berdua akan berdebat mengenai kelebihan masing-masing tempat, sampai akhirnya ayah memberi solusi. Sayang, semua akan berantakan ketika ibu mencampuri. Tanpa perasaan, ibu biasanya langsung memilih sendiri tempat yang “patut” kami kunjungi, dan biasanya pilihan ibu sangat tidak sesuai dengan keinginan kami. Begitu pula dengan acara makan ataupun yang lainnya. Huh, dengan pengalaman sama yang sering berulang seperti itu akhirnya kami tahu bahwa kami tak punya pilihan di depan ibu. Percuma saja mengajukan saran. Toh ayah tak pernah berkutik bila dihadapkan pada keputusan ibu. Menyebalkan bukan?
Aku sendiri kadang heran, kenapa ayah hanya diam bila ibu memperlakukannya seperti itu. Dulu aku pernah begitu ketakutan melihat ayah dan ibu bertengkar, entah masalah apa. Kedengarannya sih seperti masalah balas budi. Sejak melihat aku memergoki mereka bertengkar dan aku gemetaran seperti itu, ayah nyaris tak pernah membantah perkataan ibu. Ia bungkam seribu bahasa tak menanggapi omelan ibu. Jelas hal itu membuat ibu semakin berang.
“Aku ngomong begini, mbok ya ditanggapi. Apa aku salah menyarankan kebaikan buat kalian semua?! Aku bisa saja tak peduli, tapi apa kata orang nanti?” dan bla bla bla berikutnya yang tak mau aku dengar. Ayahpun mungkin berpikiran demikian, tapi demi amannya ia tak beranjak dari duduknya sampai ibu selesai.
Mas Jaka jadi tak betah berada di rumah karena sering mendengar ibu marah dan ngomel-ngomel tak jelas. Ia lebih sering bermain di rumah sahabatnya. Sedang aku, aku tak tega melihat ayah seperti itu. Akhir-akhir ini sakit maagnya selalu kambuh. Seharusnya ibu mengerti bahwa ayah butuh perhatian ibu.
Apa ibu tak cinta ayah? Mereka menikah karena dijodohkan, itu yang kucuri dengar sewaktu kami di rumah Eyang, orangtua ibu. Ayah bisa seperti ini, bekerja di perusahaan besar dan sukses tak lain karena jasa orangtua ibu. Ayah sangat menjaga perasaan orangtua dan mertuanya hingga ia rela menjalani kehidupan yang penuh tekanan seperti ini. Sementara ibu, sebagai orang yang merasa dirugikan karena harus menikah dengan ayah akhirnya memperlakukan ayah semena-mena. Sudah seminggu ini ibu pergi ke Jakarta bersama teman-temannya. Urusan bisnis atau jalan-jalan, aku tak bisa membedakan. Ibu terlalu sering pergi. Kalau ayah melarang, ibu pasti mencak-mencak merasa dikekang.
Hari beranjak sore dan mendung masih menggantung di langit Balikpapan. Ayah seharusnya menjemput ibu ke bandara Sepinggan, tapi aku melarangnya. Biar Mas Jaka saja yang menjemput ibu. Kondisi ayah kelihatannya makin tak baik. Dari tadi ayah muntah. Aku membujuknya untuk berobat ke dokter langganan kami, tapi ayah bilang nanti saja karena ia sudah minum obat maag-nya. Kutemani ayah yang berbaring di sofa ruang keluarga, wajahnya makin pucat. Untunglah Mas Jaka dan ibu segera tiba. Aku buru-buru melaporkan keadaan ayah pada mereka, tapi apa jawab ibu?
“Makanya, kalau makan itu jangan sembarangan! Sudah tahu pantangannya banyak, masih saja dilanggar. Kalau sudah sakit begini, siapa yang repot?”
Tiba-tiba entah darimana datangnya keberanian itu, aku protes pada sikap ibu “Ibu kok ngomong gitu sih? Ayah kan sakit, kok malah diomeli!”
Ibu berpaling memandangku, matanya menyipit. “Ibu capek, Ana. Coba kalau ngomong yang sopan sedikit!”
“Siapa yang nggak sopan, Bu? Ana cuma bilang kalau Ayah sakit dan tak seharusnya ibu omeli.”
“Kamu mulai berani membantah ya sekarang?” sahut ibu sinis.
Aku tak terima dikatakan seperti itu. Aku meradang. Apa yang kurasakan dan kupendam dalam hati selama ini meluap begitu saja, tentang keherananku pada sikap ibu, tentang segala sikapnya terhadap ayah yang tak pantas di mataku, tentang ah...
Mas Jaka terkejut melihat aku begitu marah, tapi kuyakin dia sependapat denganku. Ayah hanya terbaring tak berdaya. Lalu ibu, wanita itu bangkit dari duduknya. Ia memandang kami bertiga dengan wajah murka, “Kalian.... kalian bersekongkol memusuhiku? Baiklah, aku katakan sekarang yang sesungguhnya. Aku memang menyesal menikah dengan ayah kalian. Aku menyesal membuang-buang waktuku dalam rumah tangga yang tak kukehendaki ini. Aku tak bahagia di rumah ini. Puas?”
Kami bertiga menatap ibu tak percaya, teganya ia berkata seperti itu. Belum sempat kami berkomentar, ibu segera berlalu menuju kamar. Ia terlalu sombong untuk mengakui ketaksempurnaannya sebagai ibu. Tiba-tiba kebencian mengaliri segenap aliran darahku. Aku jadi ragu, benarkah surga berada di telapak kaki ibu?
Bontang, 2 Desember 2011
Di tempat tinggalku yang terletak di tepi hutan tak jauh dari tepi laut.
Cerpennya bagus - bagus mbak. Saya juga suka nulis kadang2. Tp seringnya nulis artikel. Baru minggu lalu saya coba kirim cerpen ke Kaltim post n dimuat. Biasanya mbak kirim ke mana aja koleksi cerpennya?
BalasHapusMbak Ina, terimakasih sudah mampir disini dan meninggalkan pesan.
HapusKarya saya baru sedikit mbak. Banyak malesnya daripada nulisnya :)
Pernah ngirim ke Femina yang berjudul "Nyanyian Cemara" tapi tidak ada kabarnya.
Tahun lalu 3 cerpen saya dimuat di Kaltim Post dalam waktu berdekatan. Tapi cerpen berikut-berikutnya tak pernah dimuat. Termasuk cerpen "Surga dimanakah dia berada?" ini saya kirim bulan Desember 2011 ke Kaltim Post, sampai sekarang tak ada kabar beritanya.
Sepertinya saya memang harus banyak berlatih untuk bisa tembus media. :)
Saya justru suka banget sama yg surga dimanakah dia berada?Bagus bgt! Tp di Kaltim post ngga dapet uang jajan kayaknya Mbak. Jadi saya cari2 yg lain dulu.Oiya, yg cerita2 cendoler itu maksudnya apa?perkumpulan penulis gitu ya?
BalasHapusYup, dari 3 cerpen yang dimuat, boro-boro uang jajan, diberitahu kalau dimuat juga nggak. Kebetulan aja saya langganan Kaltim Post, jadi tahu kalau karya saya dimuat hehehe..
BalasHapusBener tuh langkah mbak Ina, cari yang ada apresiasinya aja, apalagi mbak Ina suka menulis artikel. ^_^
Di group-group penulis di fb biasanya ada yang mempostingkan daftar media dan imbalan naskah yang dimuat.
Oh iya, Cendol itu adalah Kelas Menulis dan Diskusi Online. Mbak Ina bisa berkunjung ke sini nih kalau mau tahu lebih banyak tentang CENDOL http://www.facebook.com/groups/Yayasan.Cendol.Universal.Nikko/