Malam terakhir di bulan Desember 2013. Sejak sore mbak Dijah
sudah memesan bahan-bahan sate pada pemilik warung di sebelah penginapan. Kami
berencana membakarnya sendiri. Sekeranjang buah pun sudah siap untuk disantap
sebagai rujak. Ngerayain tahun baru? Enggak
juga sih!
Oh ya, sudah 3 hari tinggal di Biduk-Biduk, kurasakan ada
satu hal yang kurang. Aku tak pernah melihat seorang tukang bakso pun yang
lewat. Padahal di jalan dan di pekarangan rumah penduduk kulihat sapi berwarna
coklat bebas berkeliaran. Mungkin penduduknya lebih suka makan hasil laut ketimbang daging ya? Keheranan ini kusampaikan pada mbak Dijah, tentang keinginanku
menyantap bakso. “Ya sudah, besok kucarikan ya, De!” janji mbak Dijah.
Malam itu berlalu dengan rasa senang dan perut kenyang.
Belum lagi jam 12 aku sudah tertidur pulas. Dhiya, Mirza dan Jabil ditemani si
Bolang anak pemilik penginapan asyik
bermain kembang api (kami menyebutnya demikian karena wajah dan tingkahnya yg
khas seperti para pemeran di si Bolang). Entah sampai jam berapa. Ketika aku
terjaga, tahu-tahu suasana sudah lengang. Hening... hanya debur ombak yang memecah pantai tepat
di depan tenda.
Lalu... hujan pun turun dengan deras disertai angin kencang. Terjadi kegaduhan. Rupanya tenda Om Badak tertiup angin dan patah tiangnya. Malam itu mereka mengungsi ke kamar penginapan yang sudah kami sewa. Kamar yang satu dihuni oleh mbak Budis dan anak-anaknya. Sementara kamar satunya digunakan untuk para pria. Untung saja tendaku cukup kokoh. Tak setetes airpun merembes ke dalam tenda. Kami tidur dengan nyaman sampai pagi ditemani rintikan hujan.
Hari pertama di 2014. Para pria yang penasaran berkeinginan
mengulang penjelajahan ke air terjun bidadari di Teluk Sumbang yang jaraknya 7 km dari Kampung
Suku Basap. Mbak Budis dan putri sulungnya
sepakat ikut. Si adik memaksa ikut, tapi ... dengan berbagai bujukan, akhirnya
mau juga tinggal bersama kami untuk bermain di pantai.
Jadilah pagi itu kami berpisah. Kang Cepy, Om Luqman, Om Fadli, Om Magulici, Mbak Budis dan putri sulungnya menuju air terjun Bidadari.
Jadilah pagi itu kami berpisah. Kang Cepy, Om Luqman, Om Fadli, Om Magulici, Mbak Budis dan putri sulungnya menuju air terjun Bidadari.
Sementara aku, mbak Dijah, Keluarga Susan plus krucilnya bertamasya bersama keluarga besar Neneknya Mirza di pantai, menikmati ikan bakar dengan sambal khasnya SAMBAL MANGGA.
Oh iya, setiap pagi kami disuguhi sarapan oleh Ibu pemilik
penginapan. Kadang mie goreng, bihun, kadang nasi ketan dan bawis goreng,
lengkap dengan sambal mangga. Pemilik penginapan adalah seorang ibu yang telah
ditinggal pergi suaminya selamanya. Tanpa sakit, tiba-tiba sang suami meninggal
seusai main voly. Walau tanpa air mata, kesedihan jelas masih terbayang di
wajah si ibu saat menceritakan kisahnya kepada kami.
Untuk menghidupi
anak-anaknya, si ibu mengelola penginapan dan 50 ekor sapi peninggalan
suaminya. Ibu yang kaya sebenarnya, tapi terlihat sederhana. Si Bolang anaknya,
jajannya sehari 60 rebu. Nilai rupiah yang besar untuk anak sekecil itu
menurutku. Tapi tidak bagi mereka, karena memang harga barang-barang di Biduk-biduk
lebih mahal dari harga di Bontang. Sebotol minuman teh dijual seharga Rp. 8.000,-
Bensin yang waktu itu masih Rp. 6000, di Biduk-biduk seharga Rp. 10.000,- Jadi
kalau di Bontang, kami membeli pertamax, disini kami hanya dapat membeli
premium seharga pertamax.
Hari itu, si Ibu
pamit tak bisa melepas kami pulang esok hari, karena ia harus mengantar anaknya
sekolah ke Samarinda. Lagi-lagi aku acung jempol buat si Ibu, pendidikan adalah
hal utama meski harus menempuh jarak yang sangat jauh.
Oh, iya. Meskipun ada listrik dan tower sinyal, jangan harap
hp mu dapat digunakan sepanjang hari disini. Hanya tempat-tempat tertentu yang
sinyalnya kuat. Selebihnya, ya si hp nganggur karena di luar jangkauan. Listrik
menyala di waktu malam saja. Mulai jam 5 sore sampai jam 6 pagi. Jadi setiap
sore menjelang, kami berebut untuk mencharge hp, power bank dan batere kamera.
Sambil ngobrol dengan si Ibu, sebuah motor lewat dengan
muatan keranjang berisi rambutan. Kami menyetop dan membelinya. Satu ikat Rp. 7.000,-
Abang pedagang rambutan |
Baca juga :
http://jejak-jemari.blogspot.com/2015/05/the-little-paradise-biduk-biduk-day-1.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar